
Yogyakarta (26/03) — Kompleksitas penanganan bencana di Indonesia, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mendorong anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Abdul Fikri Faqih, untuk menyerukan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Desakan ini disampaikan saat melakukan kunjungan kerja ke kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY baru-baru ini.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akrab disapa Fikri ini menegaskan bahwa pembaruan regulasi penanggulangan bencana menjadi sebuah urgensi. Yogyakarta, yang dikenal dengan julukan ‘supermarket bencana’, menghadapi beragam ancaman alam yang signifikan.
Kebencanaan itu mulai dari trauma gempa bumi dahsyat tahun 2006 hingga aktivitas vulkanik Gunung Merapi yang terus berlanjut.
“Pengalaman pahit gempa bumi tahun 2006 adalah pengingat nyata betapa rentannya Yogyakarta terhadap bencana. Ditambah lagi, ancaman erupsi Gunung Merapi tidak pernah surut. Perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan intensitas curah hujan juga memperburuk risiko terjadinya banjir,” ujar Fikri dalam keterangannya pada Rabu (26/03).
Lebih lanjut, Fikri menilai bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan kebencanaan yang semakin dinamis.
Menurutnya, banyak pasal dalam undang-undang tersebut yang memerlukan penyesuaian mendasar.
“Bencana saat ini tidak hanya dipicu oleh faktor alam seperti gempa atau erupsi. Kami menemukan indikasi kuat bahwa lemahnya pengawasan dan ketidakpatuhan terhadap Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang disusun pemerintah turut menjadi penyebab. Sangat disayangkan, pembangunan di kawasan-kawasan rawan bencana justru marak terjadi,” tegasnya dengan nada prihatin.
Legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) IX Jateng itu juga menyoroti ketidakjelasan dan disparitas standar penanggulangan bencana antar daerah yang berpotensi menimbulkan kebingungan dan bahkan membahayakan masyarakat.
Fikri lantas memberikan contoh konkret mengenai standar bangunan hotel yang seharusnya tahan gempa, namun implementasi dan pengawasan terhadap pemenuhan standar tersebut di lapangan masih sangat minim.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera menetapkan standar yang jelas, terukur, dan berlaku secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Yogyakarta. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan infrastruktur yang dibangun memiliki ketahanan yang memadai terhadap berbagai potensi bencana,” tandasnya.
Dalam konteks upaya mitigasi, Fikri menekankan perlunya survei yang komprehensif dan mendalam untuk memetakan kebutuhan riil sistem peringatan dini (early warning system).
Fikri menyoroti kondisi BPBD DIY saat ini yang hanya memiliki 11 unit alat peringatan dini, jumlah yang dianggap jauh dari ideal untuk mencakup seluruh wilayah rawan bencana.
“Sebelum menentukan jumlah ideal alat peringatan dini, langkah fundamental yang harus dilakukan adalah survei yang akurat dan menyeluruh. Setiap kabupaten/kota di DIY memiliki karakteristik ancaman bencana yang unik, sehingga kebutuhan alat peringatan dininya pun harus disesuaikan dengan kondisi spesifik masing-masing wilayah,” jelas Fikri.
Aspek edukasi dan program adaptasi bencana juga menjadi perhatian serius anggota Komisi VIII DPR RI ini.
Atas hal itu, Fikri menekankan pentingnya menanamkan budaya sadar bencana dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat sejak usia dini.
“Upaya mitigasi harus berjalan beriringan dengan adaptasi. Masyarakat perlu mendapatkan edukasi yang memadai mengenai cara-cara menghadapi bencana sejak dini, bahkan idealnya diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan masyarakat tidak dilanda kepanikan berlebihan saat bencana terjadi dan mampu merespons secara terorganisir dan efektif, sehingga risiko kerugian jiwa dan harta dapat diminimalisir,” pungkasnya.