
Berpolitik kata Ibnu Khaldun, ilmuwan politik Islam, adalah sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban. Dengan demikian, politik pada dasarnya merupakan laku lahiriyah manusia yang menjadi sunnatullah eksistensinya di dunia. Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon” atau makhluk politik. Dua karya magnum opus, Republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles, menjelaskan bahwa sejatinya politik itu agung dan mulia yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum. Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker 1961).
Dalam ajaran Islam, manusia adalah makhluk Allah yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang mengemban tugas isti’maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya. Kalau khalifah kita artikan sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan itu politik tidak mungkin dinihilkan. Artinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpolitik, karena Allah tidak mengirim atau membebankan amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia.
Orang yang tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak memiliki kebutuhan politik sama dengan binatang. Maka sifat politik adalah kekhususan manusia. Setiap manusia adalah rajulun siyasi (politisi). Manusia yang tidak mengerti politik adalah bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Politik dalam Islam disebut “siyasah” yang bermakna mengatur urusan ummat, yang dilaksanakan oleh negara (pemerintah) maupun ummat. Dalam al-qur’an tidak tertulis secara tekstual mengenai kata siyasah. Namun dalam QS. Annisa: 58-59 membahas tentang menyerahkan amanat dan penghormatan kepada pemimpin. Arti ayat tersebut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S Annisa: 58-59)
Dua ayat dalam Q.S Annisa di atas adalah dasar yang telah diturunkan oleh Allah Swt dengan wahyu sebagai pokok pertama didalam mendirikan sesuatu kekuasaan, atau suatu pemerintahan, sekaligus untuk menaati pemimpin yang memimpin umaat.
Yang pertama adalah isyarat untuk menyerahkan amanat kepada ahlinya. Tegasnya, hendaklah seluruh pelaksana pemerintahan, seluruh aparat pemerintah diberikan kepada orang yang bisa memegang amanat, orang yang ahli. Hak pertama ialah pada rakyat, atau dalam istilah agama, pada ummat pilihan utama puncak pimpinan Negara, yang juga bisa disebut dengan khalifah, sultan dan presiden.
Yang kedua ialah pemerintah untuk menaati Allah Swt. Rasul dan Ulil amri (pemimpin), dengan syariat tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah Swt yang terdapat dalam al-qur’an dan al-hadist yang menjadi petunjuk hidup ummat Islam.
Pengertian politik (al-siya-sah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari’at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.
Dari pengertian itu, menurut KH. Sahal Mahfudh (2004), Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan. Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat)
Dalam kitab-kitab klasik ulama terdahulu kita menemukan referensi yang sangat kuat dan memadai tentang pentingnya dan betapa strategisnya peran politik (bernegara) dalam Islam. Kita bisa membaca misalnya “Muqaddimah” karya Ibn Khaldun atau “Al-ahkam As-sulthaniyyah” karya Imam Al Mawardi serta banyak kitab-kitab politik lainnya yang menjadi rujukan bagaimana Islam mengatur politik dan ketatanegaraan.