
Jakarta (14/03) — Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Saadiah Uluputty, mengapresiasi langkah pemerintah yang membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Pupuk Bersubsidi berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pangan Nomor 06/M.PANGAN/KEP/02/2025 tertanggal 25 Februari 2025.
Menurut Saadiah, langkah ini penting sebagai upaya memastikan distribusi pupuk bersubsidi tepat sasaran, tepat waktu, dan transparan.
“Kita sering menemukan penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mulai dari kelangkaan hingga penyalahgunaan oleh pihak tertentu. Dengan adanya Pokja ini, saya harap distribusi pupuk subsidi lebih transparan dan dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh para petani,” ujar Saadiah di Jakarta, Rabu (12/03/2025).
Politisi PKS ini memaparkan, dari data yang ia kumpulkan dari berbagai sumber, ada dinamisasi alokasi pupuk subsidi dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2022, volume pupuk bersubsidi tercatat sebanyak 7,4 juta ton dengan anggaran sebesar Rp25,28 triliun.
Selanjutnya, pada tahun 2023, pemerintah menyediakan anggaran Rp24 triliun, meskipun awalnya dialokasikan sebesar 7,85 Juta ton, ada perubahan target penyaluran sebesar 6,19 juta ton dimana di kalaim oleh PT Pupuk Indonesia tercapai 100% penyaluran pada laporan di tahun 2024. Pada tahun 2024, awalnya 4,7 juta ton, kemudian terjadi peningkatan signifikan di mana volume pupuk subsidi mencapai 9,55 juta ton dengan anggaran subsidi mencapai Rp54 triliun.
Pada tahun 2025, skema penebusan pupuk subsidi telah disederhanakan untuk memastikan distribusi lebih efisien dan transparan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 644/KPTS/SR.310/M.11/2024, pemerintah menetapkan alokasi pupuk bersubsidi sebesar 9,5 juta ton. Alokasi tersebut terbagi menjadi Urea 4,6 juta ton, NPK 4,2 juta ton, NPK Kakao 147.000 ton, dan Organik 500.000 ton.
“Saya mengalami peristiwa perubahan-perubahan pupuk subsidi di Komisi IV, bahkan pada tahun yang sama. Tren peningkatan anggaran dan volume pupuk subsidi ini harus diikuti dengan pengawasan ketat, agar alokasi besar yang sudah disiapkan benar-benar sampai ke tangan petani secara optimal,” jelas politisi asal Maluku ini.
Ia juga mengingatkan beberapa kasus penyimpangan dalam dua tahun terakhir yang menunjukkan perlunya peran aktif dari Pokja. Saadiah menyebut, pada Maret 2025, Polres Jember mengungkap kasus distribusi ilegal pupuk Phonska di luar wilayah Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), yang menyebabkan kelangkaan pupuk di kalangan petani. Kasus lainnya terjadi pada November 2024, di mana Polda Jawa Barat membongkar aksi penimbunan hampir 34 ton pupuk bersubsidi yang dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET).
Selain itu, pada Desember 2024, Satgas Pangan Bareskrim Polri menemukan modus pemalsuan data penerima pupuk subsidi di Kabupaten Tangerang, Banten, yang mencantumkan nama-nama petani yang sudah meninggal dunia untuk menjual kembali pupuk bersubsidi dengan harga lebih tinggi.
“Pokja ini harus mampu mengawal secara ketat agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Evaluasi rutin harus dilakukan dengan transparan dan tegas menindak pelanggaran agar subsidi pupuk benar-benar membantu petani serta mendorong peningkatan produksi pangan nasional,” tegas Saadiah.
“Saya berharap, pembentukan Pokja bukan hanya menjadi kebijakan formal, melainkan mampu menjadi instrumen pengawasan nyata yang efektif di lapangan, sehingga manfaat subsidi pupuk dapat dirasakan secara nyata oleh seluruh petani Indonesia,” tutup Saadiah Uluputty.