
Oleh : Saadiah Uluputty
(Anggota Komisi IV DPR RI, Dapil Maluku dari Fraksi PKS)
Kasus pemasangan pagar laut ilegal yang terjadi di Kabupaten Tangerang dan Bekasi bukan sekadar pelanggaran administratif biasa, tetapi cerminan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan ruang laut di Indonesia.
Masalah ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada masih belum cukup untuk menegakkan keadilan dan menjaga ekosistem laut tetap lestari. Jika tidak ada tindakan tegas, bukan tidak mungkin pelanggaran serupa akan terus berulang di berbagai daerah pesisir lainnya.
Dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 27 Februari 2025, dibahas dua kasus pagar laut ilegal yang mengkhawatirkan.
Di Kabupaten Tangerang, oknum aparatur desa terbukti memasang pagar laut tanpa izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). KKP telah melakukan penyegelan dan menetapkan kepala desa serta perangkat desa sebagai penanggung jawab.
Sementara itu, di Kabupaten Bekasi, perusahaan PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) kedapatan melakukan reklamasi dan pemasangan pagar laut tanpa izin. Setelah dilakukan penyegelan, PT TRPN membongkar pagar secara mandiri dan membayar denda administratif.
Namun, langkah ini masih jauh dari kata cukup. Penyelesaian kasus semacam ini hanya melalui sanksi administratif, tanpa langkah hukum yang lebih tegas. Padahal, praktik ilegal seperti ini tidak hanya merugikan lingkungan tetapi juga mengancam mata pencaharian nelayan yang menggantungkan hidupnya pada akses ke laut.
Pemasangan pagar laut ilegal bukan hanya persoalan izin, tetapi juga menimbulkan dampak luas terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), wilayah pesisir yang mengalami eksploitasi ruang laut tanpa izin berpotensi kehilangan keanekaragaman hayati, terganggunya jalur migrasi ikan, dan menurunnya populasi biota laut akibat rusaknya ekosistem pesisir.
Di sisi lain, nelayan yang bergantung pada perairan sekitar menghadapi kesulitan karena akses mereka terhadap sumber daya laut dibatasi. Hal ini semakin diperparah dengan kurangnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan bagi mereka.
Menurut data KKP, lebih dari 60% nelayan di wilayah pesisir mengalami penurunan hasil tangkapan akibat berbagai faktor, termasuk pembatasan akses oleh pembangunan ilegal. Selain itu, dampak sosial juga tidak bisa diabaikan.
Ketika nelayan kehilangan akses ke laut, mereka tidak hanya kehilangan mata pencaharian tetapi juga berisiko mengalami konflik sosial dengan pihak yang memiliki modal besar. Ini bisa memicu ketidakstabilan sosial di masyarakat pesisir yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara.
Ketidaktegasan KKP dalam menyikapi pelanggaran ini menjadi perhatian serius. Sanksi administratif, meskipun penting, tidak cukup untuk memberikan efek jera. Dalam beberapa kasus, pelaku pelanggaran hanya menganggap denda sebagai “biaya operasional” untuk tetap menjalankan bisnis ilegal mereka.
Jika ini terus dibiarkan, maka tidak akan ada perbaikan dalam tata kelola ruang laut. KKP seharusnya tidak hanya bertindak setelah pelanggaran terjadi, tetapi juga melakukan langkah-langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang. Penguatan mekanisme pengawasan melalui teknologi satelit dan patroli laut yang lebih intensif harus menjadi prioritas.
Selain itu, keterlibatan aparat penegak hukum sangat penting dalam memastikan bahwa pelanggar tidak hanya dikenakan denda, tetapi juga dituntut secara hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Selain itu, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Permen KP No. 30 Tahun 2021 tentang Pengawasan Ruang Laut seharusnya menjadi dasar hukum yang kuat dalam menindak pelanggaran ini.
Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak celah yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menghindari tanggung jawab hukum. Sebagai wakil rakyat yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat pesisir, saya di beberapa forum resmi maupun tidak resmi telah mendesak KKP untuk segera mengambil langkah-langkah strategis seperti Peningkatan Pengawasan dan Koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum agar setiap pelanggaran tidak hanya berujung pada sanksi administratif, tetapi juga diproses hukum.
Revisi Regulasi agar Sanksi Lebih Kuat dengan memperbarui peraturan yang ada agar memberikan sanksi lebih tegas bagi pelaku pelanggaran, termasuk hukuman pidana bagi perusahaan atau individu yang dengan sengaja merusak ekosistem laut.
Sosialisasi dan Edukasi kepada Masyarakat Pesisir agar pemerintah lebih aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat dan aparat desa mengenai aturan pemanfaatan ruang laut.
Penguatan Teknologi Pengawasan dengan menggunakan teknologi seperti sistem pemantauan satelit dan drone yang dapat membantu mendeteksi pelanggaran sejak dini dan mempercepat respons pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini.
Kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi adalah contoh nyata bagaimana eksploitasi ruang laut dapat terjadi dengan mudah jika tidak ada penegakan hukum yang kuat. Jika KKP terus bersikap setengah hati dalam menangani kasus ini, maka bukan tidak mungkin wilayah pesisir lainnya akan mengalami nasib serupa.
Laut adalah aset nasional yang harus dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa akses terhadap sumber daya laut tetap terbuka bagi masyarakat pesisir yang bergantung padanya. Jangan sampai laut kita hanya dikuasai oleh segelintir orang yang mengabaikan aturan dan merusak ekosistem demi keuntungan pribadi.
Terus mengawal kebijakan KKP dalam menyelesaikan kasus ini dan memastikan bahwa regulasi yang ada benar-benar diterapkan dengan baik mesti dilakukan semua pihak.
Jika kita ingin memastikan keberlanjutan ruang laut bagi generasi mendatang, maka saatnya kita bertindak tegas, bukan lagi dengan pendekatan administratif yang lemah, tetapi dengan penegakan hukum yang kuat dan tidak pandang bulu. Kita tidak bisa menunggu lebih lama. KKP harus bertindak sekarang, atau kita akan kehilangan laut kita selamanya.