
Jakarta (25/02) — Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025.
Lembaga ini diharapkan menjadi pilar utama dalam pengelolaan investasi strategis di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan target pengelolaan aset lebih dari 900 miliar dollar AS. Sementara itu, pendanaan awalnya ditargetkan mencapai 20 miliar dollar AS.
Menanggapi peluncuran ini, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid, menyatakan harapannya agar BPI Danantara dapat berkontribusi signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing investasi Indonesia.
“Kami menyambut baik peluncuran BPI Danantara sebagai inisiatif strategis dalam mengoptimalkan investasi negara. Dengan tiga pilar utama ‘sovereign wealth fund’, development investment, dan asset management—kami berharap Danantara dapat mempercepat realisasi proyek-proyek strategis yang berdampak besar bagi perekonomian nasional,” ujar Kholid yang merupakan Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat Kota Depok dan Kota Bekasi.
Sebagai Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan, Kholid menekankan pentingnya tata kelola yang transparan dan akuntabel dalam pengelolaan investasi negara.
“Keberhasilan BPI Danantara akan sangat bergantung pada governance yang baik, mitigasi risiko investasi, serta koordinasi yang erat antara pemerintah, DPR, dan sektor swasta. Kami akan menjalankan fungsi pengawasan agar Danantara bisa bekerja secara optimal dan memberikan manfaat maksimal bagi rakyat Indonesia,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kholid yang merupakan lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu juga menyoroti perbedaan fundamental antara BPI Danantara dan Indonesia Investment Authority (INA) yang didirikan pada era Presiden Joko Widodo.
“BPI Danantara memiliki cakupan lebih luas dibandingkan INA. Selain berperan sebagai sovereign wealth fund, Danantara juga berfungsi sebagai investment development dan asset management. Ini memberikan fleksibilitas lebih dalam strategi investasi,” jelasnya.
Meski demikian, Kholid berpandangan bahwa nantinya pengelolaan Danantara harus mengambil pelajaran dari success story berbagai sovereign wealth fund (SWF) top dunia, seperti China Investment Corporation (CIC) di Tiongkok, Temasek Holdings di Singapura, Norway Government Pension Fund Global di Norwegia, Abu Dhabi Investment Authority, dan Qatar Investment Authority.
“Model SWF di negara-negara tersebut telah terbukti mampu memberikan keuntungan jangka panjang serta berkontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi nasional masing-masing. Oleh karena itu, penting bagi Danantara untuk mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara tersebut guna memastikan keberlanjutan dan efektivitas investasinya.” sambung Kholid.
Di sisi lain, ada catatan dan lesson learned yang dapat kita ambil dari contoh kegagalan dalam tata kelola atau governance SWF seperti yang terjadi pada skandal korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia. Kasus tersebut merugikan Malaysia senilai 4,5 miliar dollar AS (setara dengan Rp 69 triliun).
Kholid berharap bahwa keberadaan BPI Danantara dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 8% dalam lima tahun ke depan.
“Kami akan terus mengawal implementasi BPI Danantara agar sejalan dengan kepentingan nasional dan dapat memberikan dampak positif bagi kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.