
Jakarta (25/02) — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Ateng Sutisna, mempertanyakan keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid yang memastikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT Cahaya Inti Sentosa (CIS) sah secara hukum.
Menurutnya, pernyataan tersebut belum menyentuh aspek mendasar mengenai proses perolehan sertifikat tanah yang dimaksud.
“Atas dasar apa SHGB ini dinyatakan sah ? Apakah diperoleh dengan transaksi yang benar-benar bersih dan adil, atau justru ada pemaksaan dan intimidasi terhadap pemilik tanah sebelumnya? Ini yang harus dijawab oleh pemerintah,” tegas Ateng dalam keterangannya.
Ateng juga menyoroti kemungkinan bahwa tanah yang kini dimiliki PT CIS awalnya adalah wilayah yang sengaja diuruk dari aliran sungai atau kawasan pesisir yang kemudian dijadikan lahan komersial.
“Jangan sampai terjadi praktik di mana sungai atau perairan ditimbun terlebih dahulu, lalu tambak yang kehilangan akses air akhirnya dipaksa menjual tanahnya. Kementerian ATR/BPN harus mengaudit betul dan melaporkannya agar kita tahu” tambahnya.
Selain itu, Ateng mempertanyakan apakah seluruh proses jual beli tanah tersebut sudah dilakukan dengan pembayaran yang benar tanpa adanya pemotongan oleh pihak tertentu.
“Menteri ATR/BPN menyatakan SHGB ini ada di daratan, tapi tidak menjawab bagaimana proses perolehan tanahnya. Apa benar uang jual belinya sampai ke tangan pemilik tanah sebelumnya, atau mungkin saja terjadi pemotongan oleh oknum-oknum yang terlibat dalam proses penjualan” ujarnya.
Lebih jauh, Ateng membandingkan kasus ini dengan proyek MNC Lido yang sama-sama berbentuk PSN bisa ditutup karena dianggap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bermasalah.
Ia menegaskan bahwa proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang terafiliasi dengan PT CIS juga seharusnya dikaji lebih dalam karena diduga melanggar banyak aturan lingkungan dan sosial. Meski sama-sama berbentuk PSN.
“Kalau proyek MNC Lido bisa ditutup karena (dianggap) AMDAL-nya bermasalah, bagaimana dengan PIK 2? Ini proyek besar dengan dampak lingkungan dan sosial yang luar biasa, tapi tetap berjalan tanpa hambatan. Itu yang kita pertanyakan,” kata Ateng dengan nada kritis.
Ateng menegaskan bahwa persoalan ini tidak hanya sebatas pada status hukum SHGB di atas laut, tetapi juga terkait legalitas dan etika perolehan lahan di daratan.
Ia meminta Kementerian ATR/BPN untuk lebih transparan dan melakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh proses perolehan SHGB PT CIS.
“Kami di Komisi II DPR RI akan terus mengawal kasus ini agar tidak ada praktik yang merugikan masyarakat. Jangan sampai kebijakan pemerintah hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengabaikan prinsip keadilan,” tutup Ateng.