
Jakarta (19/02) — Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Ateng Sutisna, menyoroti kebijakan terkait pengalihan sertifikat tanah dari bentuk fisik ke sertifikat elektronik.
Ateng menilai bahwa kebijakan ini perlu dikritisi mengingat rekam jejak pemerintah dalam pengelolaan data digital masih memiliki banyak kelemahan, seperti kebocoran data, peretasan, dan sistem yang tidak stabil.
“Kita tidak bisa serta-merta memaksakan masyarakat untuk beralih ke sertifikat elektronik tanpa adanya jaminan keamanan data yang jelas. Pemerintah harus membuktikan bahwa sistem digital yang digunakan benar-benar aman dan tidak membuka celah bagi mafia tanah,” tegas Ateng Sutisna, Senin (17/2).
Menurutnya, kebijakan digitalisasi ini, jika tidak disertai dengan transparansi dan pengawasan yang ketat, dapat berisiko melemahkan posisi masyarakat dalam kepemilikan tanah mereka.
Lebih lanjut, Ateng menyoroti masih rendahnya literasi digital masyarakat, terutama di daerah pedesaan, yang dapat menjadi hambatan dalam proses transisi ini.
“Banyak masyarakat di desa yang masih belum melek digital. Mereka belum sepenuhnya memahami bagaimana sistem elektronik ini bekerja dan apa dampaknya terhadap kepemilikan tanah mereka. Ini yang harus diperhatikan,” lanjutnya.
Ia pun mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk lebih gencar melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat sebelum kebijakan ini diberlakukan secara menyeluruh.
“Sosialisasi harus dilakukan secara masif dan menyeluruh. Jangan sampai kebijakan ini justru membuat masyarakat kecil kehilangan hak atas tanah mereka karena kurangnya pemahaman,” ujar Ateng.
Selain itu, Ateng menambahkan bahwa digitalisasi sertifikat tanah juga berisiko jika terjadi serangan siber atau gangguan server yang dapat menyebabkan hilangnya data sertifikat. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa harus ada sistem cadangan (back-up) untuk memastikan data tetap aman dalam kondisi darurat.
“Saya mengingatkan pemerintah agar memastikan ada back-up data yang memadai. Jika sistem digital mengalami gangguan atau serangan siber, masyarakat tidak boleh dirugikan akibat hilangnya data mereka,” tambahnya.
Untuk mengatasi potensi kendala ini, Ateng menyarankan agar setiap pemilik tanah memiliki dua dokumen sertifikat, yakni dalam bentuk digital dan salinan yang dapat diakses melalui scan barcode atau metode digital lainnya. Langkah ini dinilai sebagai bentuk perlindungan tambahan bagi masyarakat.
Di samping itu, ia juga menekankan pentingnya penguatan regulasi, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta kebijakan perlindungan data digital, guna memastikan keamanan data pemilik tanah dan mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Digitalisasi memang bagian dari modernisasi, tetapi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Harus ada jaminan bahwa sertifikat elektronik ini benar-benar aman, mudah diakses, dan tidak menambah beban bagi masyarakat,” pungkasnya.