
Ambon (31/12) — Memasuki akhir tahun 2024, perhatian publik tertuju pada upaya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya, Presiden Prabowo membawa visi besar untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal. Namun, perjalanan menuju kedaulatan pangan tidak lepas dari berbagai tantangan.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Saadiah Uluputty, dalam refleksinya menyoroti berbagai aspek yang menjadi keunggulan dan hambatan kebijakan pangan di era Presiden Prabowo, serta membandingkannya dengan pendekatan pemerintahan sebelumnya.
“Pemerintahan Presiden Jokowi sebelumnya menitikberatkan pembangunan infrastruktur besar-besaran sebagai penggerak ekonomi. Namun, kebijakan ini berdampak pada alih fungsi lahan yang signifikan, terutama lahan pertanian produktif. Sementara itu, Presiden Prabowo mengambil langkah berbeda dengan memprioritaskan kedaulatan pangan melalui penguatan sektor pertanian dan perlindungan petani lokal,” ujar Saadiah.
Plus dan Minus Kebijakan di Era Presiden Prabowo
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, sejumlah program unggulan telah diluncurkan untuk mendukung kedaulatan pangan. Program revitalisasi lahan pertanian menjadi salah satu kebijakan utama, di mana pemerintah mengupayakan pengembalian fungsi lahan kritis menjadi area produktif. Selain itu, subsidi pupuk dan benih diberikan dengan mekanisme yang lebih terintegrasi untuk memastikan efektivitasnya.
Presiden Prabowo juga mengambil langkah tegas dengan membatasi impor pangan secara selektif, guna melindungi produk lokal dan meningkatkan pendapatan petani. Di sisi lain, pengenalan teknologi pertanian ramah lingkungan mulai diterapkan di berbagai daerah untuk meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan.
“Pendekatan ini memberikan banyak manfaat, terutama bagi petani kecil yang kini lebih terlindungi. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan sejumlah tantangan, seperti perlunya waktu untuk membangun kapasitas produksi lokal yang mampu memenuhi kebutuhan domestik secara konsisten,” jelas Saadiah.
Selain itu, pembatasan impor juga menghadapi tantangan dari sisi harga. Ketika produksi lokal belum mencukupi, harga komoditas tertentu cenderung meningkat, yang pada akhirnya membebani masyarakat sebagai konsumen.
“Ini adalah risiko yang perlu dikelola dengan baik. Pemerintah harus memastikan adanya strategi mitigasi, misalnya melalui penguatan cadangan pangan nasional dan pengelolaan distribusi yang lebih efisien,” tambahnya.
Tantangan ke Depan
Saadiah menekankan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mencapai kedaulatan pangan adalah dampak perubahan iklim. Bencana alam yang semakin sering terjadi mengancam stabilitas produksi pangan, sehingga perlu ada langkah antisipatif yang serius. Selain itu, keberlanjutan program ini juga sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah dalam membangun infrastruktur pendukung di sektor pertanian, seperti irigasi, gudang penyimpanan, dan akses pasar.
“Keberlanjutan kebijakan ini akan menjadi ujian besar. Pemerintah perlu menjalin sinergi dengan berbagai pihak, termasuk petani, akademisi, dan sektor swasta, untuk memastikan bahwa kedaulatan pangan dapat dicapai secara efektif,” tegas Saadiah.
Ia juga mengingatkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo harus tetap waspada terhadap risiko global, termasuk ancaman krisis pangan internasional.
Dengan memperkuat kapasitas produksi lokal yang berorientasi pada keberlanjutan, kata Saadiah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara yang mandiri dalam hal pangan sekaligus menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
“Ini bukan tugas yang mudah, tetapi dengan komitmen yang kuat dan kebijakan yang berpihak pada petani serta keberlanjutan lingkungan, Indonesia bisa mencapai kedaulatan pangan yang sejati,” tutupnya.