
Pancasila adalah falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sebagai falsafah dan dasar negara, sila-sila Pancasila berperan menyatukan bangsa Indonesia. Sebaliknya, setiap narasi yang berpotensi memecah belah pasti bertentangan dengan Pancasila, sebut saja narasi paling Indonesia atau paling Pancasila dengan latar pemikiran eksklusivitas. Narasi tersebut tentu tidak tepat dan bisa kontraproduktif. Narasi tersebut tidak produktif karena bersifat agresif, represif, dan segregatif terhadap kelompok masyarakat lainnya yang distigmatisasi anti- NKRI atau anti-Pancasila. Secara filosofis narasi tersebut juga salah karena kita semua sejatinya sedang berproses menjadi Indonesia (being Indonesia) maka tidak selayaknya mengklaim “paling Indonesia” atau “paling Pancasila” sambil menunjuk secara sadar atau tidak-pihak-pihak lain anti-NKRI atau anti-Pancasila.
Kita memerlukan pendekatan yang asertif, persuasif, dan dialog untuk menghasilkan kesepakatan (konsensus kebangsaan). Bukankah itu yang diajarkan dan selalu diingatkan para pendiri bangsa? Bung Karno, misalnya, tegas mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi pemersatu, yang semestinya kita pahami agar Pancasila tidak dijadikan alat untuk mensegregasi masyarakat: saya Pancasila dan anda bukan. Saya Pancasila dan anda anti- Pancasila.
Oleh karena itu, hendaknya setiap warga bangsa arif dalam menggunakan Pancasila sebagai “jargon”, jangan sampai menimbulkan kesan segregasi atau alienasi di masyarakat. Klaim pancasilais atau NKRI tidak perlu dilakukan, apalagi ditunjukkan secara demonstratif karena akan menimbulkan reaksi sebaliknya. Apalagi jika hal itu dibumbui pernyataan-pernyataan yang bersifat menyerang, ujaran kebencian, dan klaim kebenaran di media sosial.
Mari kita jadikan Pancasila sebagai platform bersama (common platform) yang bersifat terbuka sehingga setiap orang merasa memiliki dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kaum beragama, organisasi keagamaan, dai dan pengikutnya, merasa nyaman dalam beragama dan menyebarkan nilai-nilai agama karena memang sejalan dengan sila Pertama Pancasila. Pejuang keadilan merasa memiliki dasar kuat untuk bersikap kritis dalam menuntut keadilan karena memang itulah nilai utama Sila Kedua dan Kelima, dan seterusnya.
Pancasila harus jadi jembatan, bukan tembok pemisah. Pancasila merekatkan, bukan membelah. Tidak boleh ada yang disudutkan atas nama Pancasila, sementara yang lain merasa paling Pancasila. Dengan cara pandang tersebut,
kita akan menyediakan hati dan pikiran yang lapang bagi setiap perbedaan persepsi, aspirasi, aktualiasasi kebangsaan di bumi Indonesia ini. Satu sikap mental yang menjadikan kita terbuka, merangkul, bekerja sama, dan bersinergi.
Bangsa ini terlalu besar untuk dikelola sendirian atau beberapa kelompok saja. Bangsa ini harus dikelola secara bersama-sama oleh segenap rakyatnya dari latar belakang apapun dia berasal. Tugas sejarah kita adalah membangun sinergi dan kolaborasi seluas-luasnya untuk Indonesia, bukan melakakuan segregasi dan polarisasi.