
Oleh : Riyono (Anggota DPR RI dari Fraksi PKS)
Rencana berlakunya sistem kontrak dalam sektor penangkapan ikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan tantangan baru bagi nelayan yang selama ini memang terkendala terkait teknologi dan permodalan. Kepemilikan kapal yang hanya 3 GT hingga 5 GT serta bersifat pribadi membuat nilai keekonomian nelayan jauh dari cita-cita sejahtera, bahkan hampir tidak mungkin mampu bersaing dengan mekanisme pasar dan industri perikanan.
Bargaining nelayan nyaris tidak ada di hadapan sistem perdagangan yang semakin keras dan mengarah “monopoli” pemodal besar. Sudah waktunya nelayan berhimpun dalam satu barisan berorientasi bisnis yang dikelola secara profesional bernama korporasi nelayan.
Sebuah mimpi besar untuk mewujudkan nelayan sebagai aktor utama pembangunan kelautan nasional. Problem utama yang dihadapi adalah permodalan. Penggunaan teknologi sederhana berakibat hasil tangkapan tidak memiliki nilai tawar yang tinggi, harga ikan cenderung ditawar murah dan nelayan sering tidak punya pilihan lain kecuali menerima harga untuk bisa makan dan modal menangkap esok hari.
Sistem one day fishing yang dijalankan nelayan kecil dan tradisional hanya memiliki skala mikro, belum berpikir untuk skala usaha yang orientasinya pasar ekspor.
Faktor teknologi, modal, dan SDM menjadi problem internal nelayan untuk bisa lebih maju. Selain itu problem akses pasar, infrastruktur, lembaga keuangan pesisir, penyuluhan yang intensif serta kebijakan yang pro kepada nelayan kecil dan tradisional sangat diperlukan agar mampu menghadirkan suasana ekonomi yang menguntungkan nelayan.
Korporasi nelayan merupakan wujud bersatunya semangat dan segala aktivitas ekonomi nelayan dalam upaya hadirkan peningkatan kesejahteraan nelayan. Prakteknya saat ini nelayan berhimpun dalam pokyan dan sebenarnya ada juga kelompok usaha bersama yang bersifat semi ekonomis.
Adanya pokyan dan KUB inilah sebagai cikal bakal lahirnya korporasi dengan skala usaha berbasis profesionalisme dan berorientasi keuntungan. Istilahnya pokyan dan KUB naik kelas.
Konsep korporasi nelayan akan bergerak dari hulu ke hilir dengan rangkaian bisnis di sektor perikanan, sehingga mulai dari pemenuhan alat tangkap nelayan, biaya BBM, permodalan sampai akses KUR mampu diperankan oleh korporasi ini. Lahirnya korporasi dari rahim nelayan ini diharapkan bisa mewadahi dan merangkul berbagai kepentingan masyarakat.
Kondisi perekonomian nasional mulai menggeliat, sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Perlunya negara fokus kepada sektor perikanan dan pertanian yang terbukti tangguh menghadapi pandemi Covid-19.
Kemampuan nelayan menyediakan asupan protein bagi penjagaan pangan keluarga sangat penting untuk menjaga kualitas sumber daya nasional ke depan. Perlu kebijakan yang betul-betul pro kepada nasib nelayan. Politik anggaran wajib memberikan alokasi besar untuk menjaga nilai produksi dan intensif kelembagaan kepada nelayan.
Nelayan di Indonesia tercatat oleh KKP per Maret 2020 sebanyak 1.459.874 juta nelayan. Kepemilikan kapal nasional kisaran 660 ribu kapal dengan kapal bermesin 220 ribu dengan penjelasan bahwa hanya 30% kapal yang berteknologi produktif untuk menangkap ikan skala industri.
Di sisi ini nelayan kecil hampir 80% pemilik kapal di bawah 5 GT dengan produktivitas tangkapan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan bulanan nelayan. Akses perbankan nelayan jauh dari harapan, OJK mencatat per Januari 2019 kredit sektor perikanan hanya 0,23%.
Kondisi di atas bisa jadi akan tetap sama 10 tahun ke depan jika tidak diterapkan dengan berani untuk hadirkan “revolusi mental usaha” nelayan berbasis korporasi. Problematika nelayan yang komplek harus juga dikelola dengan komplek melalui mekanisme kelembagaan yang berbasis nelayan sendiri.
Kuatnya posisi tawar nelayan Jepang, China, dan Australia dikarenakan mereka memiliki korporasi yang didukung oleh negara. Nelayan China yang sering masuk ke Laut Natuna Utara mencuri ikan dibiayai oleh China dan bahkan dikawal oleh coast guard mereka.
Kuatnya kelembagaan nelayan akan memberikan efisiensi kepada praktek usaha mereka dengan peningkatan nilai hasil tangkapan dan penghematan biaya produksi melaut. Biaya BBM yang mencakup 60% bisa dipangkas sampai 40% jika dikelola oleh korporasi. Ada nilai tambah 20% bagi nelayan yang dikelola oleh manajer yang profesional.
Tantangan sistem kontrak dan terukur yang diberlakukan KKP mensyaratkan lembaga berbadan hukum. Ini bisa menjadi peluang besar bagi nelayan untuk membuktikan mampu bersaing dengan pemodal besar yang selama ini sudah menguasai hampir 80% perikanan tangkap nasional. Ada potensi perikanan tangkap tiap tahunnya mencapai Rp 85 triliun hingga Rp 90 triliun di mana 90% lebih dihasilkan dari tangkapan nelayan.
Jalan Lahirnya NelayanPrenuer
Implementasi korporasi nelayan dimulai dengan menuntaskan problem akses modal dan pasar. Digitalisasi pasar hasil tangkapan melalui berbagai kanal startup harus dilakukan. Pasar sekarang sederhana dan pendek jalur distribusinya. Ini cocok dengan produk perikanan yang segar dan harus cepat sampai konsumen.
Pasar harus diciptakan dengan dukungan pemerintah. Potensi ASN, anggota Polri, dan prajurit TNI sangat besar. Kebijakan one day one fish bisa dimulai untuk mengokohkan bisnis korporasi nelayan. Pasar yang pasti sangat membantu korporasi nelayan dari persaingan berat melawan pemodal besar.
Tentu pasar yang besar harus didorong dengan modal yang kuat. Modal bisa dibangun dari nelayan pribadi, kelompok, KUB, dan juga suntikan dana dari pemerintah. Idealnya kalau nelayan punya saham maka akan semakin kokoh keberadaan korporasi nelayan.
Janji lahirnya Bank Petani dan Nelayan oleh Presiden sangat ditunggu, hanya rasanya masih berat teralisasi karena pandemi. Melalui KUR korporasi bisa bersaing mendapatkan permodalan yang berbunga rendah.
Catatan KKP di tahun 2020 saja, realisasi pencairan KUR sektor kelautan dan perikanan mencapai Rp5,2 triliun atau meningkat 55,8% dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak Rp3,4 triliun. Rasio kredit bermasalah yang dicapai juga cukup rendah di bawah 1 persen, yaitu sebesar 0,99% (akumulasi 2015-2019). Ada peningkatan jumlah debitur, sebanyak 173.355 debitur, meningkat 41,69% debitur tahun 2019 sebanyak 122.349 debitur.
Data KUR di atas memberikan gambaran bahwa bisnis perikanan sangat menjanjikan. Walaupun akses KUR untuk nelayan kecil dan tradisional masih terbatas. Kemudahan pasar yang disertai dorongan modal bagi korporasi akan menjadikan korporasi nelayan betul-betul bisa memberikan kemanfaatan nyata mendongkrak kesejahteraan nelayan.
Upaya peningkatan kesejahteraan nelayan dengan korporasi sebagai perusahaan milik nelayan sendiri bisa melahirkan nelayanprenuer yang bisa mengubah masyarakat pesisir. Butuh kerja sama dan bimbingan semua pihak.
Tidak mudah membangun mimpi ini, tapi bukan tidak mungkin akan lahir korporasi nelayan bertaraf nasional yang bisa berkolaborasi dengan BUMN untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.