
Jakarta (15/11) — Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Muhammad Kholid meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang mewakili Pemerintah Indonesia, untuk meninjau ulang rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada 1 Januari 2025 mendatang, yang sebelumnya sudah naik ke 11% pada 1 April 2022.
“Pertumbuhan ekonomi nasional sedang melambat. Daya beli masyarakat cenderung melemah. Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” ujar Kholid dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membahas Kinerja Kemenkeu Triwulan III-2024 di Gedung Nusantara I, Senayan, pada Rabu (13/11/2024).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95% year on year (yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91% (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93%.
“Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024,” ungkapnya.
Kholid yang merupakan juru bicara PKS tersebut juga mengingatkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Artinya, ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.
Data Kemenaker, per Oktober 2024, ada sebanyak 59.796 orang di-PHK, naik 31,13% dari tahun lalu. Data BPS, per Agustus 2024, proporsi pekerja penuh waktu (yang bekerja sedikitnya 35 jam seminggu) turun dari 68,92% ke 68,06%, sementara setengah pengangguran (yang bekerja di bawah 35 jam seminggu) juga naik dari 6,68% ke 8%.
Tidak hanya itu, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Ini merupakan pertanda bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
“Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12% seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” sambung Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat VI Kota Depok dan Kota Bekasi itu.
Kholid menambahkan bahwa untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan satu-satunya pilihan.
“Pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3% secara neto dan 0,4% secara bruto dari tahun ke tahun. Penerimaan pajak sektor Pertambangan juga turun signifikan, dengan penurunan sebesar 41,4% secara neto dan 28,3% secara bruto,” pungkasnya.
Di samping itu, lanjut Kholid, pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah tetap akan menaikkan PPN karena itu adalah amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.
Berbeda pandangan dengan Menkeu, Kholid menyampaikan bahwa dalam UU yang sama pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) dijelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Di pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12% karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5% sampai 15%. Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12% di awal tahun 2025 mendatang,” tutup Kholid.