Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Prihatin Maraknya Kriminalisasi Guru, Aleg PKS Tegaskan Akan Berikan Perlindungan Hukum bagi Guru di Dapil

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (07/11) — Dalam rapat bersama Komisi Tiga Belas DPR RI dengan Kementerian Hukum, Senin (11/2024), anggota dewan dari berbagai fraksi mencatat sejumlah masalah yang perlu menjadi perhatian bersama di masa mendatang dalam bidang hukum.

Diantaranya adalah kepastian hukum mekanisme restorative justice (RJ) dalam kasus pidana. Masalah ini kembali menguak ke publik menyusul  kriminalisasi guru yang akhir-akhir sering terjadi.

Anggota DPR Komisi Tiga Belas menilai pendekatan ini belum efektif dilakukan oleh lembaga penegak hukum karena masih memakan korban seperti Guru Suriani di Konawe, Sulawesi Tenggara yang viral di media sosial.

Anggota Komisi Tiga Belas dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Meity Rahmatia menyampaikan keprihatinannya.

Meity mengaku lebih tersentuh lagi dengan masalah tersebut setelah menyaksikan berbagai konten parodi para guru yang beredar di media sosial menyusul kasus di Konawe.

“Konten-kontennya satir. Parodinya menunjukkan adegan-adegan para murid yang berperilaku negatif, kemudian gurunya tampak acuh karena ada rasa serba salah. Mereka mau meluruskan tindakan muridnya yang salah. Tapi di satu sisi, ada ketakutan pada guru, muridnya akan missed persepsi, melawan atau tidak terima lalu melaporkan ke penegak hukum,” ungkapnya.

Meity menegaskan pentingnya pendekatan RJ, jika tidak kriminalisasi guru bisa terjadi terus. Dan hal tersebut tidak sehat bagi psikologi dunia pendidikan Indonesia.

“Terutama bagi guru di sekolah-sekolah negeri maupuan swasta yang tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pendidik pada aspek kognitif dan afektif. Tetapi pada aspek psikomotorik yang bisa meningkatkan kedisiplinan anak didik,” tambahnya.

Meity mengaku akan memberikan perhatian terhadap kekhawatiran guru dalam masalah hukum ini, terutama dari daerah pemilihannya.

“Di Sulsel, kasus serupa juga banyak terjadi. Hanya saja, tidak viral di muka publik seperti kasus Suriani. Jadi, insya Allah, saya akan mengikuti dan memperhatikan kekhawatiran dari para tenaga pendidik kita,” tegas Meity.

Dalam rapat di komisi tiga belas baru-baru bersama Menteri Hukum dan jajaran, kata Meity, anggota komisi sudah menyampaikan tentang pendekatan RJ dalam menyelesaikan kasus pidana. Termasuk dalam kasus-kasus pidana ringan yang melibatkan guru dengan murid.

Namun menurut bendahara Fraksi PKS di Majelis Permusyawaratan Rakyat ini, lebih baik lagi bila perselisihan tentang tafsir metode mendidik yang melibatkan guru dan murid di sekolah, diselesaikan tanpa kriminalisasi.

“RJ itu kan berbicara hukum pidana. Tapi menurut saya, alangkah baiknya kalau mengedepankan penyelesaian masalah di internal sekolah melalui musyawarah. Mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan dan budaya,” terangnya.

Meity menambahkan semua pihak bisa melibatkan komite sekolah yang terdiri dari profesional  dan orang tua murid, guru, pihak sekolah, dan lain-lain.

“Kalau istilah orang Bugis-Makassar, mengedepankan cara-cara sipakalebbi, sipakainge dan sipakatau. Kita memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sangat luar biasa sebagai pendekatan dalam penyelesaian masalah. Khususnya, bagi kita di Sulawesi Selatan,” pungkasnya.

Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif merupakan pendekatan dalam sistem peradilan pidana. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah melalui dialog antara korban, pelaku, dan masyarakat. Pendekatan ini berfokus pada pemulihan hubungan yang rusak, mengatasi akar masalah, dan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kriminal.

Pendekatan ini disebut sebagai manifestasi budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia yang mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah.

Pendekatan ini juga sebagai  solusi terhadap masalah lembaga pemasyarakat di Indonesia, termasuk di Sulsel yang melebihi kapasitas. Menurut data pemerintah tahun 2023, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia mencapai 265.897 orang per 24 Maret 2023.

Jumlah tersebut telah melebihi total kapasitas lapas di dalam negeri yang hanya sebesar 140.424 orang.

Akibat over kapasitas ini, negara mendapat beban yang tidak sedikit dalam pemenuhan kebutuhan warga binaan pemasyarakatan. Selain itu, aspek-aspek Hak Asasi Manusia WBP juga banyak terabaikan.