Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Gula “Pahit” Bagi Indonesia

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Riyono (Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS)

Pascapenetapan eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong sebagai tersangka kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016 menarik untuk dilihat bagaimana kondisi gula nasional sebenarnya.

Kondisi pergulaan nasional saat ini cukup berat, di mana kebutuhan nasional mencapai 5 juta ton per tahun hingga 6 juta ton per tahun dengan impor 2,7 juta ton dan produksi nasional 3,3 juta ton.

Awal tahun 2023, Presiden Joko Widodo, menargetkan swasembada gula tahun 2028 dan peningkatan produksi bioetanol tahun 2030 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 yang terbit pada 16 Juni 2023.

Sajian data BPS, sepanjang tahun 2023 menunjukkan Indonesia mengimpor 5,069 juta ton gula, senilai US$2,88 miliar atau setara Rp44,33 triliun, baik untuk gula konsumsi maupun gula industri yang diimpor dalam bentuk gula kristal mentah.

Kekurangan pasokan gula dalam negeri mengharuskan Indonesia melakukan impor. Catatan BPS tahun 2022 tercatat sebanyak 17 negara yang menjadi pemasok gula Indonesia. Empat negara terbesar pemasok gula Indonesia berturut-turut, yaitu Thailand, India, Brasil, dan Australia.

Mimpi swasembada gula 2020 gagal tercapai, lalu dicanangkan 2028 kembali akan swasembada. Apakah bisa? Mengingat petani semakin enggan menanam tebu karena terus merugi, apalagi jika dikenakan pajak 10%. Dari berbagai kunjungan dan pertemuan bersama petani, pabrik gula keluhannya sama: gula semakin “pahit”, swasembada entah kapan, apalagi kesejahteraan petani tebu.

Kenapa pahit?

Problem pertebuan nasional sudah parah. Pertama, ambruknya pusat pembibitan tebu nasional membuat varietas bibit unggul tebu sulit didapatkan petani. Bibit yang dipakai oleh petani adalah bibit KW 3 karena memang saat ini pemerintah dan swasta belum mampu menyediakan. Riset sudah semakin jarang.

Kedua, ketersediaan pupuk yang terbatas bagi petani sangat menyulitkan. Pembatasan hanya dua hektare yang mendapat subsidi pupuk semakin menjadikan petani tebu terengah-engah mendapatkan pupuk. Belum lagi pupuk yang semakin sulit didapatkan.

Ketiga, pabrik gula yang sudah tidak kompetitif. Rencana penutupan 23 pabrik dari 45 membuat resah 1,7 juta pegawainya. Selain itu pabrik gula umurnya sudah mendekati satu abad. Sudah inefisiensi dari sisi produksi sehingga banyak yang sudah ditutup dan ada yang dimerger, sedangkan revitalisasi pabrik melalui pembangunan pabrik sejumlah 28 pabrik masih tahap rencana.

Belum selesai pemerintah melakukan revitalisasi PG dan pembenahan sisi on farm sampai off farm tiba-tiba menteri keuangan merilis kebijakan soal PPN 12% bagi gula petani dan pembeli. Belum lagi kuota impor gula yang ditaksir asosiasi mencapai 4 juta ton.

Ketiga problem di atas memberikan gambaran bahwa gula sebenarnya sudah “pahit” dari mulainya.

Sebagai gambaran, saat ini rata-rata pendapatan petani tebu dengan luasan lahan 900 meter persegi dalam satu kali panen hanya mendapat uang 2 juta rupiah kotor. Bagaimana mau sejahtera kalau kondisi petani tebu seperti ini?

Saat ini produktivitas tanaman tebu petani baru 75 ton/ha dengan rendemen 7,0% hingga 7,5% dan biaya menghasilkan gula kurang lebih Rp 10.000/kg. Kondisi ini tidak stabil karena regulasi soal rendemen di level provinsi dan kabupaten serta PG belum berpihak kepada petani.

Kapan Swasembada?

Pemerintah harusnya memahami kondisi pergulaan nasional dan kesejahteraan petani tebu. Petani jangan dikenakan pajak 12% jika ingin swasembada gula. Jika tidak dibatalkan maka siap-siap saja produksi gula akan anjlok karena petani enggan menanam tebu kembali. Impor gula akan semakin menggila.

Gula pabrik gula juga belum terjual. Sebagai contoh gula produksi 2015 pernah baru terjual Maret 2016. Serbuan gula impor yang merembes ke pasar tradisional membuat harga gula rakyat tercekik.

Kondisi 2017 sampai 2024 juga semakin susah karena regulasi yang belum berpihak dan kondisi hulu sampai hilir juga tidak beranjak membaik. Cita-cita swasembada jauh panggang dari api.

Swasembada gula baru akan bisa tercapai tahun 2028 dengan kunci utama kenaikan kesejahteraan petani tebu. Semua itu bisa tercapai dengan sejumlah syarat.

Pertama, revitalisasi pabrik gula selesai tahun 2025. Sebanyak 28 pabrik baru dengan total investasi yang bisa mencapai Rp 30 triliun harus disinergikan antara pemerintah dan swasta.

Kedua, penyediaan lahan sekitar 1 juta hektare bagi petani tebu. Saat ini, data lahan tebu yang ada sekitar 482.239 ha dengan perincian lahan tebu rakyat 291.000 ha atau 60% lahan nasional. Lahan tebu nonrakyat 113 hektare atau 23%. Masih butuh lahan 500 ribuan ha. Ini syarat mutlak soal lahan jika ingin swasembada.

Terakhir, kesejahteraan petani tebu. Harus ada peta jalan untuk mengurangi impor gula dalam sepuluh tahun ke depan. Gula rakyat harus naik melalui rendemen tebu yang minimal 8%. Saat ini hanya maksimal 6%-7% sehingga masih jauh dari harapan.