Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

BI Rate 6%, Legislator PKS: Sudah Sesuai dengan Kondisi Ekonomi Saat Ini

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (18/10) — Anggota Legislatif Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Mucharam mengamati hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Oktober 2024 yang memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Bank Indonesia berpendapat bahwa keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Fokus kebijakan moneter jangka pendek pada stabilitas nilai tukar Rupiah karena meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

Ecky berpendapat bahwa kebijakan tersebut masih dalam koridor yang sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini. Tercatat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi sebesar 2,44% dari Rp15.135/US$ menjadi Rp15.505/US$ secara month to date/mtd hingga 16 Oktober 2024. Meskipun pada perdagangan hari ini (17 Oktober 2024) Rupiah menguat sebesar 0,45% di angka Rp15.505/US$.

Pelemahan Rupiah secara mtd masih menjadi perhatian di tengah ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global. Ecky menambahkan bahwa dengan mempertahankan BI rate maka dapat memitigasi risiko adanya capital outflow yang berdampak pada volatilitas lebih tajam pada pasar keuangan.

Meskipun demikian, Ecky juga menyoroti bahwa ke depannya Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan dengan melihat beberapa hal. Pertama, interest rate differential saat ini antara BI rate dengan Fed Fund Rate cukup besar, yaitu 100 bps.

“Interest rate differential yang BI ambil biasanya hanya berkisar 25 s.d. 75 bps, artinya masih ada ruang BI untuk menurunkan BI rate tanpa harus khawatir terjadinya capital outflow” ungkap Ecky.

Kedua, Ecky melanjutkan bahwa beberapa indikator ekonomi juga nantinya dapat menjadi pertimbangan agar BI rate dapat disesuaikan kembali. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data dalam lima bulan terakhir Indonesia mengalami deflasi. Indonesia mengalami deflasi sejak Mei 2024. Pada Mei 2024, deflasi yang dialami sebesar 0,03%, kemudian pada Juni 0,08%, Juli sebesar 0,18%, Agustus 0,03%, dan September sebesar 0,12%.

“Adanya deflasi ini menjadi sinyal kuat bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat Indonesia yang harus segera diatasi” jelas Ecky.

Dengan suku bunga acuan lebih rendah maka dapat membantu masyarakat melalui penurunan suku bunga kredit. Masyarakat akan lebih memiliki ruang gerak untuk mengelola keuangannya sehingga dapat mengungkit daya beli yang sedang pada kondisi kurang baik.