
Jakarta (12/09) — Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS Ansory Siregar, mewakili Fraksi PKS menyatakan bahwa menerima Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan catatan.
Diantaranya, Fraksi PKS berpendapat bahwa perubahan undang-undang keimigrasian akibat keputusan Mahkamah Konstitusi ini seharusnya menjadi pintu masuk untuk perbaikan secara keseluruhan.
“Untuk itu diperlukan pembahasan lebih mendalam, bahkan RDP dan FGD dengan para ahli, praktisi, dan lembaga yang terkait dengan keimigrasian,” kata Ansory melalui Pendapat Akhir Mini Fraksi PKS DPR RI terhadap RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian di Jakarta, Kamis (12/09).
“Perumusan undang-undang keimigrasian mesti mampu menjawab tantangan zaman dan sekaligus sinkron dengan beberapa perubahan aturan lain yang berpengaruh pada keimigrasian di Indonesia,” tambah Anggota Komisi IX DPR RI ini.
Selain itu, Fraksi PKS juga menyoroti penghapusan kata ‘penyelidikan dan’ serta Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, berupa penghapusan frasa ‘setiap kali’ dan menggantinya dengan rumusan ‘Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan’.
“Diperlukan aturan turunan yang mampu untuk mencegah perubahan ini menjadi celah bagi para pelaku kejahatan untuk melarikan diri keluar negeri demi menghindari proses hukum atas kejahatannya,” tegas Ansory.
Aleg dari Dapil Sumatera Utara II ini juga menyinggung bahwa pembahasan tingkat I bersama perwakilan dari pemerintah telah memberikan beberapa perubahan yang cukup penting, diantaranya mengenai mempersenjatai pejabat/petugas imigrasi demi melindungi diri mereka, mekanisme perpanjangan masa pencegahan, dan penegasan mengenai dokumen perjalanan sebagai bukti kewarganegaraan.
Menurut Ansory, perubahan-perubahan tersebut juga harus ditindaklanjuti dengan pembuatan aturan turunan yang memastikan aturan-aturan tersebut tidak justru menjadi sumber masalah baru dimasa mendatang.
“Misalnya mengenai senjata api yang dimiliki oleh pejabat atau petugas imigrasi yang sangat mungkin melukai bahkan membunuh orang-orang yang tidak bersalah ketika pemegang senjata kurang sehat secara mental,” tutup Ansory.