
Jakarta (09/07) — Anggota Komisi X DPR RI Mustafa Kamal mewakili Fraksi PKS menyampaikan pendapatnya soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, pada Selasa (09/07).
Menurutnya, sudut pandang penyelenggaraan kepariwisataan nasional harus diubah, bukan lagi hanya berpikir jangka pendek untuk menambah jumlah wisatawan, tetapi juga harus berpikir jangka panjang dengan mempertimbangkan semua dampak pariwisata.
“Dengan tujuan memaksimalkan dampak positif serta meminimalkan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat,” cakap Mustafa.
Menyoal kebutuhan wisatawan muslim, penjaminan aksesibilitas serta penyediaan sarana dan prasarana yang layak bagi penyandang disabilitas, lanjut usia, juga ibu hamil menyusui. Mustafa berpendapat agar memperjelas yang dimaksud ‘kaum rentan’ dalam RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan ini agar tidak terjadi multitafsir.
“Harus mampu menegaskan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan tidak boleh menggeser atau mengorbankan dimensi sosio-kultural, norma agama, adat istiadat, budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat setempat, serta harus mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan,” kata Aleg PKS Dapil Sumatera Selatan I.
Terkait pengaturan pembentukan Lembaga Kepariwisataan Indonesia, Mustafa menyebut lembaga yang dibentuk oleh menteri itu bisa menimbulkan perilaku kerja kontraproduktif, overlapping dengan tugas dan kewenangan kementerian, serta pendanaan lembaga baru tersebut yang tentunya bakal membebani APBN.
“Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan harus juga menjadi payung hukum untuk penguatan terselenggaranya wisata halal (halal tourism), wisata medis (medical tourism), wisata kesehatan(wellness tourism), wisata olahraga (sport tourism), dan wisata ilmiah (scientific tourism),” tuturnya.
Mustafa yang juga Anggota Badan Anggaran (Banggar) menilai RUU perubahan ketiga tentang Kepariwisataan harus mampu mendorong disrupsi, pemanfaatan, dan inovasi digitalisasi teknologi sehingga memberikan dampak positif yang signifikan bagi penyelenggaraan kepariwisataan nasional.
“Kepariwisataan mesti mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan pelaku usaha perjalanan wisata konvensional yang masih belum memiliki kemampuan digitalisasi teknologi disebabkan ketidakmerataan dan keterbatasan akses internet di daerah agar tetap bisa eksis ditengah persaingan harga dengan pelaku usaha perjalanan wisata online,” ungkap Mustafa.
Dalam kesempatannya, Mustafa menyoroti pengaturan kewajiban setiap pengunjung untuk memiliki perlindungan asuransi wisata dalam pasal 25 huruf h dalam RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Kepariwisataan tentu akan memberatkan pelancong domestik.
“Kami mengusulkan perubahan substansi menjadi ‘setiap pengunjung berkewajiban memiliki perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi,” pungkasnya.