
Jakarta (04/07) — Anggota DPR RI Komisi V Syahrul Aidi Maazat mewakili Fraksi PKS menyampaikan pandangan Fraksi soal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, pada Kamis (04/07).
Melalui Syahrul Aidi, Fraksi PKS menerima dengan catatan RUU Perubahan Ketiga tentang UU Pelayaran. Ia menekankan soal penguatan asas sabotage terkait peran sektor transportasi laut dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara dari kemungkinan serangan oleh negara asing.
“Penguatan asas cabotage dalam RUU ini diharapkan dapat menghilangkan praktik-praktik manipulasi pengangkutan yang merugikan kedaulatan pelayaran nasional, seperti praktik pinjam nama (nominee) yakni keberadaan kapal atas nama warga negara Indonesia, tetapi sebenarnya milik asing,” jelas Syahrul Aidi.
Aleg PKS dari Dapil Riau II ini berpendapat bahwa saat ini masih ditemui sejumlah kendala dalam meningkatkan jumlah kepemilikan kapal nasional, antara lain masih kurangnya dukungan terhadap sektor-sektor terkait pelayaran, yang mencakup permodalan, perbankan, dan teknologi.
Fraksi PKS menegaskan RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 ini harus mampu mendorong peningkatan kepemilikan kapal nasional dalam rangka mewujudkan kedaulatan pelayaran di Indonesia.
Lebih lanjut, Fraksi PKS berpendapat RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ini perlu mengatur kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas industri galangan kapal nasional, sehingga Indonesia mampu memproduksi sendiri dan memenuhi kebutuhan kapal untuk layanan angkutan laut domestik bahkan internasional.
“Kebijakan pemerintah tersebut dapat berupa penyaluran kredit ke sektor jasa pelayaran, penurunan suku bunga kredit pinjaman pengadaan kapal, jangka pengembalian pinjaman yang diperpanjang, dan insentif fiskal berupa relaksasi pajak yang berkaitan dengan industri galangan kapal nasional,” tutur Syahrul Aidi.
Syahrul Aidi mengatakan Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat memiliki peran penting bagi perekonomian nasional dan berkontribusi besar terhadap pelayaran nasional. Namun, saat ini keberadaannya masih memprihatinkan.
“Oleh karena itu, RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ini harus mampu mendorong peran pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat,” katanya.
Mengenai hal tersebut, kata Syahrul, tentu diperlukan pembinaan terhadap galangan kapal untuk pelayaran-rakyat sesuai standar keselamatan, memenuhi standar nasional kapal pelayaran-rakyat sesuai kapasitas, kecocokan jalur, dan operasional feeder kapal niaga nasional, khususnya angkutan jalur laut yang menghubungkan perbatasan, daerah perairan pedalaman, juga daerah perintis.
Dalam sidang Rapat Paripurna Anggota DPR RI itu, Syahrul Aidi juga mengingatkan penjagaan laut dan pantai (sea and coast guard) merupakan amanat International Maritime Organization (IMO) badan khusus PBB yang bertanggungjawab untuk keselamatan dan keamanan aktivitas pelayaran serta pencegahan polusi di laut.
Menurut Syahrul Aidi, meskipun Indonesia telah menjalankan amanat tersebut, penjagaan laut dan pantai masih kurang efektif dikarenakan adanya tumpang tindih kewenangan dan belum adanya lembaga yang bertugas sebagai leading sector dalam penjagaan laut juga pantai.
“FPKS mengingatkan bahwa terkait penjaga laut dan pantai (sea and coast guard) dalam RUU ini harus juga disinkronkan dengan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang saat ini juga dibahas oleh Pansus DPR RI,” ujar Syahrul.
Di samping permasalahan tumpang tindih kewenangan, Aleg DPR FPKS ini menyampaikan UU Nomor 17 Tahun 2008 harus mampu menyelesaikan permasalahan penyelenggaraan Terminal Khusus (Tersus) dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS).