Oleh: Aus Hidayat Nur (Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS)
Mengejutkan tapi tidak mengherankan. Kabar mundurnya Ketua dan Wakil Ketua Otoritas Ibu Kota Negara, Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe sontak menciptakan trending topic baru di lini masa media sosial dan kantor berita di Indonesia. Masyarakat kaget. Tapi sesungguhnya kejadian begini bisa ditebak dari awal.
Sesuatu yang dikerjakan spontan akan bertemu dengan hal-hal di luar ekpektasi. Begitu juga kebijakan pemerintah yang laksana ‘tahu bulat’, bukan riak kecil yang ditemukan ketika implementasi, tapi gelombang-gelombang kejut besar dan para pekerja yang kewalahan.
Hal yang baik dari Orde Baru yang gagal dilanjutkan oleh Orde Reformasi adalah adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang membuat arah kebijakan pemerintah akan terbaca dari awal periode.
Selain memberi kepastian pada pelaku usaha, rencana pembangunan jangkan panjang ini juga memberi dampak pada asas manajemen yang terpenuhi; yaitu ada perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Ketiadaan Repelita di era sekarang membuat penguasa seakan bebas bermanuver spontan dalam menentukan arah pembangunan. Misalnya, seperti yang disindir oleh Jusuf Kalla (JK) beberapa waktu lalu terkait Ibu Kota Negara.
“Itu tidak ada di janji kampanye tidak ada di ini, tidak ada di perencanaan, tiba-tiba muncul ya tiba-tiba,” ucap JK kepada awak media.
Menurut JK, proyek tersebut tak memikirkan efisiensi dan tujuan yang jelas yang seharusnya disusun jauh hari sebagai tujuan bernegara.
“Jadi efisiensi kemudian tujuannya jelas yang ada targetnya yang kalau diamini, jangan ada proyek tiba-tiba besar tiba-tiba, katakanlah IKN,” paparnya.
Proyek pembangunan tanpa perencanaan yang matang akan berdampak luas. Pada konteks IKN, budget dan sumber pendanaan proyek ini berubah-ubah, seakan pembiayaan harus siap mengikuti tiap ide baru yang tercetus tiba-tiba. Investasi swasta atau APBN, pilihannya akan ditentukan kemudian mengikuti keadaan.
Lebih buruk lagi, mitigasi pembiayaan ujung-ujungnya bersumber pada APBD. Sehingga pembangunan daerah pun terkorbankan.
Target realisasi pembangunan tidak seimbang dengan existing dana pembangunan IKN.
Berbagai kendala teknis yang tidak diperhitungkan muncul seperti masalah air bersih, infra strktur daerah penyangga, dll. Belum lagi masalah pertanahan yang tak kunjung selesai.
Wacana pemindahan kantor pemerintahan ke IKN pun sangat dipaksakan akibat pelaksanaan pembangunan yang tergesa-gesa. Dan sekarang, jelang peringatan kemerdekaan RI segenap pihak yang terlibat sedang berdebar jantungnya. Ada pertaruhan nama baik dua bulan lagi.
Mundurnya Ketua dan Wakil Ketua OIKN menunjukkan berat dan terlalu dipaksakannya kebijakan itu. Bukan tak penting pembangunan ibu kota baru untuk negara ini, namun perlu perencanaan ulang secara menyeluruh dari berbagai aspek.
Dan harus diterima secara rasional bila penggodokan ulang ini berdampak pada reschedulling target pembangunan. Atau lebih ekstrimnya jika secara rasional hasil evaluasi justru dinyatakan tak layak diteruskan ya harus diterima juga.
Publik kini berharap pada pejabat baru OIKN, baik Plt maupun yang akan definitif ditunjuk agar lebih cakap dan profesional. Khawatirnya bila sosok yang muncul bersikap grasa-grusu dan main gusur terhadap hak-hak warga di sekitar IKN khususnya daerah Sepaku dan Semoi, Kalimantan Timur.
Ide yang bagus dari seorang pemimpin bukan berarti harus dieksekusi secara spontan. Semakin luas wilayah yang diurus, semakin banyak rakyat yang dipimpin, maka perencanaan harus semakin matang menyentuh semua sisi.