Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Legislator PKS Ingatkan Nadiem Jangan Kebablasan Saat Keluarkan Kebijakan

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (31/05) — Kegaduhan yang muncul dari program Sastra Masuk Kurikulum keluaran Kemendikbudristek RI disesalkan anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa.

Ledia secara lugas mengingatkan Menteri Nadiem Makarim jangan kebablasan dan ugal-ugalan dalam mengelola Kementerian yang dipimpinnya.

“Bukan sekali dua ada kegaduhan keluar dari kementerian yang menaungi pendidikan. Mengeluarkan kebijakan atau program yang mengundang kontroversi sampai banyak dikritisi dan diprotes, baru berhenti atau direvisi. Kalau ibarat sopir, Mas Menteri ini jadi seperti sopir ugal-ugalan. Suka kebablasan. Sampai bolak-balik kena tilang,” tegas Ledia.

Program Sastra Masuk Kurikulum yang menyodorkan Rekomendasi Buku Sastra untuk kalangan SD sampai SMA memang berujung kegaduhan. Dari ratusan buku yang direkomendasi Kemendikbudristek sebagian ternyata berisi muatan sadis, porno bahkan penyimpangan seksual. Usai banyak menuai protes masyarakat, ormas dan anggota DPR, akhirnya rekomendasi tersebut dinyatakan akan ditarik dan direvisi.

“Saya mencermati Panduan Rekomendasi Buku Sastra ini satu demi satu dan merasa muak melihat sebagian isinya. Sungguh tidak habis pikir bagaimana muatan buku yang menggunakan diksi-diksi vulgar terkait kesadisan, seksual dan penyimpangan seksual bisa dijadikan bagian dari buku pendidikan yang akan dikonsumsi anak sekolah. Kepalas BSKAP, Mas Nino dan Mas Menteri sendiri coba ambil buku rekomendasi yang berdiksi vulgar itu lalu bacakan kepada anaknya. Tegakah?” ungkapnya retoris.

Ledia mengingatkan bahwa karya sastra meskipun merupakan sebuah refleksi imajinatif penulis yang berangkat dari imajinasi bebas maupun potret masyarakat perlu memiliki nilai rasa keindahan dan menjunjung norma. Tidak semata ungkapan ekspresi hawa nafsu sebebas-bebasnya. Setidaknya, meski buku-buku tersebut telah beredar umum tidak berarti semua menjadi patut dihadirkan di sekolah.

“Masyarakat dalam ranah umum saja telah panjang berdebat soal kepatutan memotret dan mengungkap realitas sosial akan kekerasan, sadisme, eksploitasi seksual, pornografi bahkan penyimpangan seksual dalam muatan karya sastra. Tak perlu pula kita membawa muatan sadisme, eksploitasi seksual, pornografi bahkan penyimpangan seksual ini secara sengaja pada anak sekolah.” tegas Ledia

Sebenarnya Undang-undang No 3 Tahun 2017 Tentang Perbukuan Pasal 42 dan PP No 75 Tahun 2019 Pasal 11 telah menjabarkan secara jelas syarat isi sebuah buku yang baik, diantaranya tidak bertentangan dengan Pancasila, tidak memuat unsur pornografi, juga kekerasan. Sayang sekali sebagian rekomendasi Buku Sastra keluaran Kemendikbudristek justru memuat hal itu.

“Saya ingatkan Mas Menteri dan jajarannya agar selalu patuh pada Undang-undang, selaras dengan nilai-nilai Pancasila, juga ingat pada tujuan pendidikan nasional. Sehingga setiap kali mau mengeluarkan kebijakan, program atau produk lakukan dulu analisa mendalam dengan mengacu tiga hal tersebut, apakah sesuai Undang-undang, selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Jangan nyerempet-nyerempet pelanggaran atau kontroversi. Tidak mendidik,” ujar aleg dapil Kota Bandung Kota Cimahi ini pula.

Dalih pihak Kemendikbudristek dalam Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra bahwa buku-buku ini perlu dijadikan bahan diskusi untuk mendorong keluar anak didik dari pemikiran hitam putih, membangkitkan empati dan menguatkan pendidikan karakter dinilai Ledia tidak tepat bila mengacu pada pilihan buku-buku yang bermuatan vulgar.

“Dalam keseharian, berita buruk dan baik, informasi positif dan negatif sudah menyerbu kehidupan. Fakta-fakta ini sudah cukup menjadi bahan diskusi di rumah dan di sekolah agar anak berpikir kritis, menumbuhkan empati dan menumbuhkan karakter baik yang disesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak didik. Fakta-fakta ini saja perlu dipilah orang tua dan guru dengan susah payah. Jadi tidak perlu lagilah kurang kerjaan, kurang pertimbangan dan kurang kebijaksanaan dengan menyodorkan pada anak didik imajinasi vulgar soal kekerasan, seks dan penyimpangan.” tutupnya.