
Jakarta (31/05) — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama menanggapi pernyataan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra yang meminta agar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merevisi kebijakan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Salah satu alasan pihak Garuda, kata Suryadi, besarannya belum berubah sejak 2019 sementara biaya operasional pesawat yang mahal, seperti 30 persen untuk bahan bakar avtur, 30 persen sewa pesawat, dan 20-30 persen maintenance atau perawatan.
“Pada dasarnya FPKS memahami keinginan Garuda Indonesia agar Kemenhub meninjau ulang TBA. Mengingat Garuda Indonesia menempati peringkat ke-30 dari 100 maskapai penerbangan terbaik dunia versi Skytrax tahun 2023. Posisi ini naik satu peringkat dari urutan 31 di 2022,” ungkap pria yang akrab disapa SJP ini.
Selain itu, imbuhnya, Garuda Indonesia meraih peringkat ke-8 layanan bandara terbaik di dunia, peringkat 14 terbaik dunia untuk penerbangan kelas satu dan juga untuk kelas ekonomi berada di ranking 14 terbaik dunia.
“Prestasi paling istimewanya, tahun 2023 ini kembali Garuda Indonesia menjadi maskapai dengan awak kabin terbaik nomor satu di dunia, setelah sebelumnya diperoleh berturut-turut pada tahun 2014 – 2018. Capaian ini sekaligus menjadikan Garuda Indonesia sebagai satu-satunya maskapai penerbangan yang mendapatkan penghargaan ini hingga keenam kalinya,” jelas Anggota Komisi V DPR RI ini.
Namun demikian, lanjut Suryadi, kualitas Garuda ini sama sekali belum merata ke maskapai-maskapai lainnya, hanya Citilink berhasil berada di peringkat 94 dari 100 maskapai penerbangan terbaik dunia. Malahan, menurut laporan The 2023 Airline Index yang dirilis oleh Bounce, dua maskapai asal Indonesia, yakni Lion Air dan Wings Air, menjadi maskapai penerbangan internasional dengan peringkat terendah di dunia,
“Sehingga FPKS melihat masih banyak hal yang harus diperbaiki terutama dari sisi keselamatan dan pelayanan. Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita tertidurnya dua pilot maskapai Batik Air pada saat penerbangan dari Kendari ke Jakarta pada Januari 2024 lalu yang tentunya sangat membahayakan keselamatan penumpang,” pungkasnya.
Selain itu, SJP menambahkan, maskapai Garuda Indonesia sendiri juga bukan tanpa cacat, terutama yang baru-baru ini terjadi pada penerbangan calon jemaah haji. Dimana Kemenhub menyebut angka keterlambatan penerbangan calon jemaah haji pada pekan pertama oleh Garuda terbilang tinggi, yaitu mencapai 47,5 persen. Keterlambatan oleh Garuda tersebut mencapai 32 jam 24 menit sehingga mendapatkan teguran dari Kementerian Agama (Kemenag).
“Belum lagi terjadinya insiden seperti percikan api pada mesin pesawat pengangkut jemaah haji dari Makassar pada 15 Mei 2024. Juga dalam pemberangkatan kloter 41 Embarkasi Solo (SOC-41) pada Kamis, 23 Mei 2024 yang berimbas pada keterlambatan pemberangkatan SOC-42 dan SOC-43 karena kerusakan pada mesin pesawat juga,” paparnya.
Atas dasar berbagai catatan diatas, tegas Suryadi, FPKS memandang revisi TBA tiket pesawat berkaitan dengan kualitas pelayanan ini belum pantas diterapkan di Indonesia.
“FPKS juga ingin mengingatkan temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa harga tiket pesawat per kilometer di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam dan hal ini disebabkan monopoli penyediaan avtur sebagai bahan bakar penerbangan,” tandasnya.
Seperti diketahui, hanya Pertamina yang menyuplai avtur ke maskapai-maskapai penerbangan domestik dan luar negeri di seluruh bandara di Indonesia.
Padahal harga BBM penerbangan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan harga avtur di sepuluh bandar udara internasional lainnya, dengan kisaran perbedaan mencapai 22-43% untuk periode Desember 2023, sedangkan komponen biaya bahan bakar mencapai 38%-45% dari harga tiket pesawat.
“FPKS mendesak Pemerintah agar dapat mengurangi monopoli avtur ini karena jika harga tiket pesawat dapat ditekan semurah-murahnya daripada merevisi kebijakan TBA seperti yang diminta oleh Garuda Indonesia,” ujar Anggota DPR RI dari Dapil NTB 1 ini.
Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan segera, kata Suryadi, maka FPKS mengusulkan kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan dalam waktu singkat adalah berupa pengaturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan bakar dan suku cadang meskipun hanya untuk tujuan destinasi wisata super prioritas.