
Jakarta (31/03) — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Syahrul Aidi Maazat merespon Revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa atau lebih dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Desa (RUU Desa) yang resmi disahkan DPR RI menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 pada Kamis (28/03/2024).
Hasil pembahasan RUU Desa yang telah disepakati, kata Syahrul, terdiri dari tujuh poin garis besar perubahan.
“Salah satu poin tersebut di antaranya adalah terkait kesejahteraan bagi Kepala Desa (Kades), Badan Permusyawaratan Desa, dan Perangkat Desa,” ungkapnya.
Kesejahteraan mereka, lanjut Syahrul, tercantum dalam ketentuan pasal 26, 50A, dan pasal 62 yang menyebutkan tentang pemberian penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah; jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan; serta tunjangan purna tugas satu kali di akhir masa jabatan sesuai dengan kemampuan desa.
“Ketentuan tersebut sejalan dengan apa yang diperjuangkan FPKS dalam rapat akhir pembacaan pandangan mini fraksi atas perubahan UU tersebut yang digelar Badan Legislasi (Baleg) pada Senin (3/7/2023),” tegas Anggota Komisi V ini.
Salah satu poinnya, kata Syahrul, FPKS menilai bahwa jabatan Kepala Desa sama dengan jabatan pimpinan eksekutif lainnya seperti Bupati, yang mana sama-sama memiliki wilayah, dipilih secara langsung oleh masyarakat, memiliki beban anggaran yang harus dikelola untuk kesejahteraan desa.
“Dengan demikian, FPKS mendorong agar Kepala Desa mendapatkan tunjangan operasional dan tunjangan rumah tangga karena beban tugas yang cukup berat,” tandasnya.
Bahkan sebelumnya, imbuh SJP, dalam Rapat Panja RUU Desa pada Senin (26/6/2023), FPKS meminta agar gaji kepala desa harus ditingkatkan.
“Gaji kepala desa saat ini nominalnya masih sangat kecil sedangkan beban kerjanya cukup berat. FPKS meminta agar minimal gajinya 3,7 juta dan harus dipastikan diterima setiap bulan pada awal bulan,” pungkasnya.
Berdasarkan laporan, ujar Syahrul, kecilnya gaji Kades ini menyebabkan banyak Kades yang terpaksa terlilit banyak utang sehingga sampai diceraikan oleh pasangannya.
“Dengan revisi UU Desa ini, maka kenaikan gaji Kades dapat dipastikan melalui perubahan pada Pasal 72 ayat (5), yaitu besaran 10% (sepuluh persen) dari Dana Alokasi Umum untuk Alokasi Dana Desa diprioritaskan bagi pembayaran penghasilan tetap yang diteruskan dari rekening Pemerintah Pusat kepada rekening Desa,” tandas Anggota DPR RI dari Dapil Riau II.
Dapat diasumsikan bahwa, kata Syahrul, dengan disahkannya RUU Desa tersebut, maka inilah saatnya gaji Kepala Desa juga naik, bersamaan dengan kenaikan alokasi Dana Desa.
“Namun ketentuan tersebut belum cukup menjelaskan apakah kenaikan Dana Desa sama dengan Tambahan Dana Desa seperti pada tahun 2023 yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 98 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Dana Desa,” tegasnya.
Peraturan tersebut, lanjutnya, menyebutkan bahwa Tambahan Dana Desa adalah berdasarkan kinerja Pemerintah Desa dan penghargaan dari kementerian/lembaga. Hal ini berbeda dengan kenaikan Dana Desa per tahun, seperti Dana Desa tahun 2022 Rp 68 triliun naik tahun 2023 menjadi Rp70 triliun (naik 2,9%) dan tahun 2024 menjadi Rp 71 triliun (naik 1,4%).
“Oleh karena itu, FPKS mendesak Pemerintah agar ketentuan berkaitan dengan kenaikan gaji Kepala Desa di atas dapat diatur sejelas-jelasnya dalam Peraturan Pemerintah mengenai pendapatan Desa dan penyaluran dana alokasi umum, sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 72 ayat (8) UU Desa yang baru disahkan,” tutup Syahrul.