Ketika kita mengamati peran penguasa saat ini, ada satu kata yang menyesakkan dada: khawatir. Khawatir bukan hanya tentang ketamakan, melainkan tentang bagaimana penyalahgunaan kekuasaan ini bisa meruntuhkan pondasi Republik, mendorongnya ke dalam jurang yang semakin dalam. Kekhawatiran ini tidak sekadar soal etika dan nalar, melainkan bagaimana kita mungkin terjerembab dalam kubangan kegelapan peradaban.

Ada rasa cemas yang tak terelakkan, bahwa setiap langkah yang diambil bukan untuk membawa kesejahteraan, melainkan untuk mengukuhkan dan memperpanjang dominasi keserakahan. Penguasa hari ini tidak lagi merasa malu memamerkan keberpihakan mereka yang nyata-nyata menumpang pada keringat rakyat, menggunakan fasilitas negara dan merusak infrastruktur publik. Bahkan, masukan dan kritik dianggap seperti riak-riak di tepi pantai yang mudah dijinakkan, dipecah, dan dihapus.

Pesohor dijadikan pemikat di penghujung waktu, seolah-olah menjadi satu-satunya penyeimbang kegelapan yang merayap. Padahal, rakyat hidup dalam tekanan beban keseharian, jauh dari sorotan hingar-bingar para penghibur politik. Mereka hidup dalam ruang hampa, di mana setiap tanggung jawab keseharian membentang tanpa jeda.

Bansos disebar tanpa prosedur, BLT dibagikan tanpa proses administrasi. Wajah-wajah lelah yang menangguk beban harian dicampakkan begitu saja, tak lagi menjadi prioritas. Ironisnya, dalam situasi ini, rakyat seakan terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang seharusnya melindungi mereka.

Ketika alarm berbunyi keras, memanggil untuk merespon dan menyelesaikan masalah, kita dihadapkan pada realitas yang menggugah. Penguasa Nir Empati harus menyadari bahwa kepemimpinan bukanlah panggung untuk memainkan peran, melainkan panggilan untuk mengayomi dan memimpin rakyatnya menuju kemanusiaan yang sejati.