Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) disusun dengan sebuah metode Omnibus Law yaitu suatu metode, teknik atau pendekatan dalam perancangan undang-undang untuk mengubah, menghapus atau mencabut beberapa ketentuan undang-undang ke dalam satu undang-undang tematik. Fraksi PKS menyadari bahwa substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja memiliki implikasi yang luas terhadap praktek kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia sehingga diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan amanat reformasi dalam amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berlaku sebagai koridor politik hukum kebangsaan.
Dalam menyikapi Omnibus Law Cipta Kerja, Fraksi PKS berpegang pada paradigma bahwa Omnibus Law hanyalah sebatas metode baru dalam perancangan undang-undang di Indonesia yang pada prinsipnya tidak boleh bertentangan dengan pedoman hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Omnibus law yang dipahami dan diterima Fraksi PKS adalah sebuah metode dan pendekatan dalam harmonisasi hukum dalam mengatasi tumpang tindih ketentuan yang terdapat antar undang-undang (conflict of law). Omnibus Law sebagai sebuah metode dan pendekatan harmonisasi tersebut haruslah tunduk pada tiga konsepsi dasar dalam kerangka pengaturan RUU Cipta Kerja.
Pertama, RUU Cipta Kerja tidak boleh mengatur substansi pasal atau norma baru yang tidak memiliki relevansi dengan masalah harmonisasi antar peraturan perundang-undangan. Kedua, substansi Omnibus Law haruslah memiliki koherensi antara konsiderans dan materi muatan undang-undangnya, dan Ketiga, Omnibus Law tidak boleh memuat substansi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seperti mereduksi otonomi daerah dan kewenangan konstitusional lembaga, liberalisasi sumber daya alam, komersialisasi pendidikan, diskriminasi, marginalisasi dan alienasi kelompok masyarakat lemah dan rentan dalam proses pembangunan dan sebagainya.
Berpegang pada konsepsi dasar tersebut Fraksi PKS pada awalnya mengambil sikap untuk menolak ikut serta dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dan meminta untuk ditundanya pembahasan RUU tersebut karena pandemi covid-19 sedang mewabah di penjuru dunia termasuk Indonesia. Namun, pembahasan RUU tersebut tetap dilanjutkan oleh Badan Legislasi (baleg) DPR dan Pemerintah. Oleh karena itu Fraksi PKS kembali memutuskan untuk mengirim perwakilan dalam Panitia Kerja (panja) RUU Cipta Kerja karena 3 (tiga) pertimbangan. Pertama, pembahasan tetap dilanjutkan oleh baleg DPR. Kedua, Fraksi PKS memiliki kewajiban Konstitusional untuk terlibat dalam setiap pembahasan UU. Ketiga, Fraksi PKS memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dalam setiap proses pembahasan UU.
Dari sejak awal penyusunan drafnya oleh pemerintah, RUU Cipta Kerja mendapatkan penolakan dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat. Penolakan tersebut disebabkan oleh minimnya keterlibatan masyarakat terutama pihak yang berkepentingan dengan RUU Cipta Kerja dan sulitnya akses informasi oleh masyarakat tentang RUU Cipta Kerja.
Selama proses pembahasan di tingkat I dan tingkat II, Fraksi PKS mencatat beberapa poin yang tidak sesuai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pertama, pembahasan yang dilakukan secara terburu-buru sehingga banyak masukan dan usulan, baik dari masyarakat maupun anggota DPR tidak terakomodir secara komprehensif. Kedua, pembahasan yang dilakukan di masa reses yang seharusnya digunakan oleh setiap anggota DPR untuk turun ke daerah pemilihannya demi menyerap aspirasi dari masyarakat. Ketiga, tidak adanya draf final pada saat pembacaan pandangan fraksi pada rapat di tingkat II. Keempat, pascapengesahan di DPR draf yang telah disetujui bersama dalam pembahasan tingkat I terus mengalami perubahan dalam rentang waktu sampai draf tersebut ditandatangani oleh Presiden dan perubahan tersebut banyak mengubah substansi pengaturan dalam UU Cipta Kerja.
Setelah ikut aktif terlibat dalam pembahasan, Fraksi PKS menilai bahwa RUU Cipta Kerja baik secara formil dalam proses pembentukannya maupun secara substansi berkaitan dengan materi pengaturannya bertentanggan dengan politik hukum kebangsaan yang kita sepakati pasca amandemen konstitusi. Akhirnya pada saat pembacaan pandangan mini fraksi setelah pembahasan di tingkat I yang dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2020, Fraksi PKS Menyatakan MENOLAK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA. Kemudian Fraksi PKS pada pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna yang dilaksanakan pada tanaggal 5 Oktober 2020 juga menyatakan MENOLAKĀ RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG CIPTA KERJA untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang.
Baca Selengkapnya: