Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Mandatory Spending dan Masa Depan Kualitas Kesehatan Masyarakat Indonesia

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Dr. Hj. Kurniasih Mufidayati, M.Si (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dan Anggota Fraksi PKS DPR RI)

Kesehatan adalah salah satu hak dasar bagi semua penduduk yang pemenuhannya menjadi tanggungjawab negara dan dijamin oleh konstitusi. UUD RI 1945 dalam pasal 28H ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Ayat ini jelas menegaskan bahwa kesehatan setiap penduduk menjadi tanggungjawab negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak.

Mengingat posisinya sebagai kebutuhan dasar inilah maka sektor kesehatan menjadi sektor yang diwajibkan untuk adanya alokasi anggaran dalam jumlah yang mencukupi darii anggaran negara atau adanya mandatory spending, selain kebutuhan dasar lain seperti pendidikan.

Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending ini untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Sebagai wujud dari mandatory spending ini, serta sebagai implementasi dari Pasal 28H ayat (1) UUD RI 1945 ini, maka dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di Pasal 171 ayat (1) dan (2) yang mengamanatkan Pemerintah mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk Kesehatan di luar gaji.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memasang patokan bahwa alokasi anggaran kesehatan setiap negara minimal 15% dari total APBN atau setara dengan 5% dari PDB.

Beberapa negara telah mengikuti ketetapan dari WHO ini dengan mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan ini sekaligus memenuhi tanggungjawabnya dalam bidang kesehatan kepada penduduknya.

Data WHO pada 2010 menunjukkan ada 22 dari 36 negara berkategori Low Income telah mengalokasikan 11% anggaran negaranya (state budget) untuk kesehatan. Bahkan tiga negara berpendapatan rendah di Afrika seperti Rwanda, Tanzania dan Liberia telah berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15% dari APBN-nya. Chile yang merupakan negara middle income country seperti Indonesia, mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sampai 16% dari APBN nya.

Mandatory Spending dan Omniibus Law Kesehatan

Salah satu hal yang menjadi sorotan dari pembahasan Omnibus Law RUU Kesehatan adalah dihapuskannya ketentuan Pasal Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 2009 yang mengamanatkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN.

Penghapusan ini merupakan langkah mundur dan bentuk dari upaya mengurangi tanggungjawab pemerintah di bidang kesehatan.

Padahal dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas dan tersebar dalam kepulauan, menjadkan layanan kesehatan bagi penduduk memiliki tantangan tersendiri. Dibutuhkan anggaran yang besar untuk memberikan pelayanan kesehatan bahkan pada level standar minimum bagi masyarakat yang tersebar luas di berbagai pulau dan pelosok.

Di sisi lain, Indonesia yang merupakan negara tropis dan curah hujan tinggi, menjadikannya rawan dengan berbagai permasalahan kesehatan termasuk berbagai penyakit menular. Apalagi sebagian penduduk juga masih menemui kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk air bersih maupun pemenuhan kecukupan gizi. Akibatnya persoalan kesehatan menjadi semakin besar lagi akibat faktor alam, ekonomi maupun kebiasaan hidup penduduk. Kesadaran untuk gerakan hidup sehat masih rendah termasuk pada kalangan menengah.

Problem kesehatan yang banyak ini sesungguhnya disadari oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itu pemerintah juga sudah menetapkan beberapa prioritas dalam pembangunan kesehatan. Pada tahun 2023 misalnya pemerintah menetapkan lima prioritas program yaitu program yang sifatnya promotif preventif, retrukturisasi rumah sakit di seluruh Indonesia terutama untuk penanganan penyakit dengan resiko kematian tinggi, membangun sistem ketahanan kesehatan dengan membangun industri kesehatan, pengembangan kecukupan sumberdaya manusia kesehatan dan

memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang tersedia secara cukup dan berkelanjutan.

Pasca pandemi covid-19 ini, pemerintah sendiri sudah menetapkan transfor,masi kesehatan yang terdiri dari enam pilar dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Keenam pilar transformasi kesehatan ini terdiri dari Transformasi Layanan Primer yang menekankan upaya promotif dan preventif dan peningkatkan kapasitas dan kapabilitas SDM kesehatan pada layanan primer. Kedua, Transformasi Layanan Rujukan yang difokuskan pada peningkatan akses dan pemerataan layanan kesehatan di semua wilayah di Indonesia. Ketiga Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan yang meliputi upaya peningkatan ketahanan penanggulangan medis dan penguatan resiliensi di masa krisis kesehatan. Keempat Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan yang dilakukan dengan mengembangkan regulasi pembiayaan kesehatan dengan tujuan membangun pemerataan, kemudahan aksesibilitas bagi masyarakat, dan keberlanjutan alokasi pembiayaan. Kelima, Transformasi sumberdaya manusia kesehatan dan peningkatan kualitas SDM Kesehatan. Keenam adalah transformasi teknologi kesehatan dengan mendorong pengembangan teknologi dan digitalisasi di sektor kesehatan.

Implikasi Hilangnya Mandatory Spending Kesehatan

Dari filosofinya, kewajiban alokasi APBN dan APBD untuk pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna. Penyediaan anggaran ini juga untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Ini merupakan amanat Pasal 170 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009 yang menjadi dasar adanya mandatory spending.

Enam pilar tranformasi kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah memerlukan upaya dan sumberdaya yang besar untuk dapat mewujudkannya. Apalagi jumlah penduduk yang harus dilayani dan wilayah yang harus dipenuhi kebutuhannya sangat besar dan luas. Tujuan yang ingin dicapai melalui transformasi kesehatan ini juga sangat besar, diantara untuk membangun pemerataan dan kemudahan aksesibilitas bagi masyarakat. Tidak ada adanya mandatory budget akan berdampak terhambatnya upaya melakukan transformasi kesehatan. Enam pilar transformasi kesehatan ini sudah pasti membutuhkan dukungan pembiayaan yang besar. Memang betul dukungan pembiayaan untuk melaksanakan transformasi kesehatan ini tidak sepenuhnya mengandalkan pemerintah. Namun tetap saja pada tahap awal, peran pemerintah haruslah paling besar dalam mendukung pelaksanaan transformasi. Jangan sampai pembiayaan untuk enam pilar transformasi kesehatan menggunakan dana Jaminan Kesehatanan Nasional (JKN) yang merupakan dana gotong royong dari seluruh peserta JKN. Apalagi revisi UU BPJS juga memposisikan BPJS bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan

Disisi lain, upaya membangun sistem kesehatan nasional selama ini juga masih banyak menemui hambatan, termasuk dari peraturan yang ada dan konsistensi pemerintah dalam mewujudkannya. Upaya percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan yang didorong dengan Inpres No. 6 Tahun 2016, dalam implementasinya masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ketergantungan terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan dari impor masih sangat tinggi. Pandemi covid-19 memberi pelajaran tentang tingginya ketergantungan kita pada sediaan farmasi yang berasal dari impor ini.

Demikian juga dengan upaya memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Berkali-kali upaya pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan menunjukkan kesulitan yang dialami pemerintah dalam pembiayaan kesehatan dalam mewujudkan jaminan kesehatan nasional. Artinya, ketiadaan kewajiban bagi pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah tertentu anggaran untuk bidang kesehatan, bisa mengancam keberlangsungan JKN khususnya bagi masyarakat penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan.

Hal ini justru berakibat buruk pada kualitas kesehatan masyarakat karena tidak terpenuhinya jaminan kesehatan untuk mereka.

Tidak adanya mandatory spending untuk sektor kesehatan ini juga menjadikan sektor kesehatan ini memiliki ketergantungan tinggi terhadap kondisi fiskal negara. Secara langsung juga menjadikan bidang Kesehatan ini akan dikendalikan oleh Kementerian Keuangan. Beberapa program besar yang menjadi indikator kesehatan nasional seperti penurunan stunting, kesehatan ibu dan anak, kematian bayi dan ibu melahirkan berpotensi tidak berjalan maksimal dan target tidak tercapai.

Mandatory spending yang dihapuskan dalam Omnibus Law UU Kesehatan ini juga bisa berdampak kepada daerah yang sudah menetapkan alokasi anggaran untuk kesehatan dalam persentase tertentu dari APBD yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Beberapa daerah yang semula sudah menindaklanjuti Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 dengan menetapkan alokasi anggaran untuk kesehatan dari APBD, sangat mungkin akan melakukan perubahan Perda tentang Kesehatan Daerah nya dan menghapuskan ketentuan alokasi anggaran kesehatan tersebut. Apalagi beberapa daerah sejak dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2009 ini juga banyak yang belum memenuhi ketentuan minimal 10% APBD untuk bidang kesehatan maupun pengaturan dalam Perda Sistem Kesehatan Daerah nya.

Hilangnya mandatory spending Kesehatan ini akan membuat masa depan kualitas kesehatan nasional menghadapi situasi yang berat. Bahkan ketika ditetapkan mandatory spending pada UU No. 2 Tahun 2009 pun kita kesulitan untuk memenuhi standar kesehatan, kesehatan ibu dan anak, stunting dan berbagai problem kesehatan lainnya. Apalagi ditingkat daerah juga masih banyak fasilitas kesehatan yang minim serta kekurangan tenaga kesehatan. Sementara banyak pemerintah daerah yang juga belum maksimal dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya. Hilangnya mandatory spending bisa membuat masa depan upaya peningkatan kualitas kesehatan Indonesia semakin buruk