
Jakarta (09/07) — Bank Indonesia telah efektif memberlakukan kebijakan biaya layanan QRIS atau ‘Merchant Discount Rate (MDR)’ kepada merchant sebesar 0,3 persen per 1 Juli 2023 lalu. ‘Merchant Discount Rate’ atau MDR adalah biaya yang yang ditagihkan oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dinyatakan dalam prosentase terhadap Harga Jual ‘merchant’ (tidak termasuk nilai tambahan (nilai ‘Tipping dan Processing Fee’).
Besaran MDR 0,3 persen yang ditetapkan tersebut merupakan MDR untuk pedagang usaha mikro (UMI), di mana sebelumnya diatur sebesar 0 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS
Ecky Awal Mucharam berpendapat semestinya pada kondisi perekonomian yang masih dalam fase pemulihan ini, regulator harus tetap berpihak pada pelaku usaha mikro, bukan sebaliknya.
“Kenaikan biaya MDR tentunya akan berdampak pada pendapatan yang akan diperoleh UMI, karena ada tambahan biaya operasional yang ditanggung. Perlu dicatat bahwa masih terdapat biaya yang harus dikeluarkan merchant dalam penggunaan QRIS, sehingga tambahan MDR tersebut pastinya membebani pedagang, khususnya UMI,” ungkap Ecky.
Ecky menjelaskan, sebagai contohnya terdapat transaksi sebesar Rp100.000, maka tidak senilai itu akan diterima oleh pedagang karena harus dikurangi biaya MDR 0,3 persen ditambah biaya ‘settlement fee’ sebesar Rp2.000 hingga Rp5.900. Atau dengan kata lain pedagang hanya akan menerima hasil transaksi berkisar Rp93.900-Rp97.700.
“Pedagang UMI mengumpulkan laba usahanya dari setiap rupiah yang diterima, jika masih harus dikurangi lagi karena pemakaian QRIS, lalu apa yang bisa dibawa pulang ke rumah kalau banyak biaya-biaya yang kemudian timbul. Selanjutnya perlu diingat bahwa UMI mengumpulkan keuntungan untuk menghidupi keluarganya, bukan seperti korporat besar untuk membangun kerajaan bisnis” ungkap Ecky.
“BI sebagai regulator mestinya tidak hanya memikirkan bagaimana pengusaha besar dalam hal ini PJP, bank dan pihak terkait lainnya dapat bertahan dalam kondisi saat ini, namun lebih berpihak pada UMI yang menjadi penyokong dalam ekonomi inklusif. Terlebih dalam UU PPSK, BI dituntut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan bertugas untuk turut serta meningkatkan inklusi ekonomi” jelas Ecky.
Ecky meneruskan bahwa PJP, bank dan pihak terkait lainnya telah mendapat nilai MDR dari dari setiap transaksi yang dilakukan oleh merchant reguler, institusi pendidikan dan SPBU yang nilainya antara 0,4 hingga 0,7 persen.
“Dengan demikian tidak menjadi persoalan jika UMI yang dimiliki oleh rakyat kecil mendapat insentif berupa pembebasan biaya MDR,” pungkasnya.
Sebagai penutup, Ecky mengajak seluruh elemen berpikir ulang untuk menjadi bagian dalam mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Berkualitas di sini tidak hanya diartikan besar nilainya, namun harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
“Regulator membuat aturan yang adil dan berimbang untuk seluruh pelaku ekonomi, pengusaha besar tidak hanya berorientasi laba, tetapi juga mulai memberikan ruang dan mengambil bagian dalam membantu UMI bertahan dalam kondisi yang dituntut berubah cepat mengikuti perkembangan teknologi informasi saat ini. Jika hal ini terwujud, maka inklusif ekonomi yang digaungkan, tidak lagi hanya menjadi wacana,” tutup Ecky.