Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Biaya Tinggi dan Indeks Kinerja Logistik Indonesia Anjlok, Aleg PKS Desak Pemerintah Cari Solusi Komprehensif

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (13/06) — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Hamid Noor Yasin menyoroti kinerja logistik perdagangan Indonesia yang masih tertinggal dari negara-negara anggota ASEAN lainnya.

Hamid menyayangkan dengan kondisi tersebut Pemerintah masih saja menyalahkan kondisi geografis Indonesia yang begitu luas dan berbentuk kepulauan.

“Pemerintah beralasan tidak mudah bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya yang kondisi geografisnya relatif kompak, kecil, dan tidak serumit Indonesia. Populasinya juga lebih kecil,” Demikian disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam suatu diskusi tentang Sistem Indonesia National Single Window (SINSW).

Pemerintah, kata Hamid, harusnya terus mendorong pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah, diantaranya dengan membangun jalan tol.

“Tidak ketinggalan berbagai pembangunan bandar udara dan pelabuhan. Sudah 8 tahun terakhir digelontorkan anggaran Rp 2.779,9 triliun untuk membangun infrastruktur tersebut. Namun, biaya logistik di Kalimantan dan pulau-pulau lain masih 30%, Sumatra 20%, jauh lebih tinggi dibandingkan Jawa atau Jakarta yang hanya 12%. Biaya logistik Indonesia yang masih mahal itu juga kalah kompetitif dibandingkan negara tetangga di ASEAN maupun negara emerging market lainnya,” jelas Anggota Komisi V ini.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kata Hamid, biaya logistik Indonesia pada kuartal pertama tahun 2021 mencapai 23,5% dari PDB dengan rincian yaitu 8,9% biaya inventori, 8,5% transportasi darat, 2,8% laut, 2,7% administrasi, dan 0,8% biaya lainnya. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain seperti Singapura (8%) dan Malaysia (13%).

“Selain dari biaya logistiknya, Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada tahun 2023 ini benar-benar anjlok. Dari 139 negara, Indonesia menempati peringkat ke-63, turun 17 peringkat dari peringkat ke-45 pada tahun 2018. Kinerja logistik Indonesia kalah jauh dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, bahkan kalah dari Filipina dan Vietnam,” sebut Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Tengah IV ini.

Indeks yang dikeluarkan Bank Dunia ini, imbuhnya, dihitung dari enam aspek, yakni bea cukai, infrastruktur, kualitas dan kompetensi logistik, ketepatan waktu pengiriman, kemampuan melacak kiriman serta pengiriman internasional. Dua dari indikator tersebut, yakni bea dan cukai serta infrastruktur mencatat kenaikan indeks. Sementara empat indeks lainnya turun terutama timelines atau ketepatan waktu pengiriman yang turun tajam.

“Sayangnya, terhadap masalah tersebut, Pemerintah hanya fokus pada solusi infrastruktur dan penyederhanaan layanan untuk menekan biaya logistik melalui platform lembaga nasional single window (LNSW). Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan meluncurkan LNSW generasi kedua. Tujuannya memastikan layanan benar-benar dilakukan satu pintu,” pungkasnya.

Hamid menilai masih tingginya biaya logistik dan menurunnya kinerja logistik Indonesia saat ini bukan hanya diperbaiki dengan infrastruktur dan penyederhanaan layanan dengan platform sistem elektronik.

“Meskipun infrastruktur mencatat kenaikan indeks, kenyataannya infrastruktur konektivitas dan transportasi masih mengalami berbagai masalah, misalkan belum adanya kesinambungan jaringan jalan trans pulau, belum optimalnya angkutan barang kereta api, masih terbatasnya kapasitas bandara, belum memadainya fasilitas pelabuhan, belum optimalnya peran angkutan penyeberangan dalam menghubungkan pulau-pulau, serta belum seimbangnya supply-demand. Misalkan kapal yang mengirimkan muatan persediaan (supply) yang banyak atau penuh ketika kembali seringkali kosong atau tidak penuh karena permintaan (demand) yang tidak sama,” jelasnya.

Hamid Anggota Komisi V dari Fraksi PKS ini juga mengevaluasi infrastruktur jalan tol yang berbayar yang jauh lebih banyak dibangun pemerintah saat ini ketimbang jalan nasional yang gratis.

“Hasilnya dapat dilihat, Tol Trans-Sumatra tidak dilewati kendaraan di Sumatra yang lebih banyak untuk logistik perkebunan karena lebih mahal. Jelas biaya logistik menjadi lebih tinggi jika harus melewati jalan tol,” ungkapnya.

Penyederhanaan layanan melalui satu pintu untuk menekan biaya logistik dengan platform sistem elektronik, kata Hamid, memang solusi bagus, namun yang harus diutamakan adalah perbaikan ekosistem logistik melalui penyederhanaan birokrasi serta integrasi sistem tersebut dengan upaya pemberantasan korupsi serta pungutan liar (pungli).

“Jangan sampai ada celah sedikitpun untuk praktik korupsi dan pungli meskipun sudah menggunakan platform sistem elektronik,” tegas Hamid.

Selain itu, Hamid memandang regulasi tentang logistik saat ini sudah tidak kondusif. Peraturan Presiden (Perpres) No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional sudah tertinggal 10 tahun lamanya dan harus dievaluasi apakah perlu direvisi agar sesuai dengan kebutuhan saat ini.

“Undang-Undang (UU) bidang logistik juga perlu dipikirkan sebagai regulasi yang lebih umum karena komponen transportasi sebagai bagian dari sistem logistik justru sudah diatur dalam bentuk UU, di antaranya UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU 17/2008 tentang Pelayaran, dan UU 1/2009 tentang Penerbangan,” ujarnya.

Khusus terkait biaya logistik sektor kelautan, kata Hamid, maka harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah jaringan pelabuhan. Perbedaan kinerja pada masing-masing pelabuhan saling mempengaruhi biaya logistiknya, tidak dapat berdiri sendiri.

“Misalnya pelabuhan A mungkin bagus, pelabuhan B tidak bagus, A bongkar muat 1 hari, B bongkar muat harus menunggu 3 hari. Secara keseluruhan maka dihitung biaya logistik dari pelabuhan A ke B atau sebaliknya adalah tinggi,” ujar Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI ini.

Agar biaya logistik pelabuhan dapat ditekan, lanjutnya, maka dapat dilakukan dengan cara memperpendek port stay atau waktu berlabuhnya kapal di pelabuhan.

“Artinya, semakin lama kapal parkir di pelabuhan, semakin mahal juga biaya yang dikeluarkan, serta mengakibatkan terganggunya aktivitas kapal lain yang akan berlabuh,” papar Hamid.

Oleh karena itu, kata Hamid, pihaknya meminta Pemerintah memberikan solusi komprehensif tentang tingginya biaya logistik dan anjloknya Logistics Performance Index (LPI) Indonesia tahun 2023 ini.

“Tak seharusnya Pemerintah terus mencari kambing hitam, menyalahkan kondisi geografis Indonesia yang sudah merupakan anugerah Tuhan yang tak dapat diubah lagi, karena ketidakberdayaan Pemerintah mencari solusi,” demikian tegas Hamid.