Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Kepercayaan Publik dan Reformasi Kepolisian

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Habib Aboe Bakar Al Habsyi (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS)

Kematian Hasya Atallah Syahputra mengingatkan publik pada tewasnya George Flyod beberapa tahun lalu di Amerika. Hasya tewas dalam kecelakaan dan dijadikan tersangka oleh polisi Indonesia. Sementara George Flyod tewas disebabkan dicekik dengan lutut oleh polisi di Minneapolis US.

Keduanya menjadi perhatian publik dan memicu desakan untuk melakukan reformasi pada instansi kepolisian.
Demo besar-besaran terjadi dalam kasus George Flyod yang dikenal dengan jargon “black live matters”.

Kampanye ini sebenarnya merupakan puncak dari berbagai kejadian ketidakadilan rasial yang dilakukan polisi dalam menangkap orang-orang berkulit hitam. Namun lebih jauh lagi, sejumlah pengamat menilai bahwa tuntutan “black live matters” pada dasarnya lahir dari rasa frustasi dan kebuntuan pada ketimpangan sosial yang dialami oleh masyarakat kulit hitam di Amerika.

Sejumlah reformasi kepolisian kemudian dilakukan guna mengembalikan kepercayaan publik pada sistem ketertiban dan keamanan di Amerika Serikat.

Persoalan yang sedikit banyak sama juga terjadi pada kasus kematian Hasya di Indonesia. Seperti bola salju, perhatian publik semakin membesar dan boleh jadi melahirkan desakan reformasi kepolisian yang lebih besar. Terlebih lagi, narasi yang berkembang dalam isu kematian Hasya sudah mengarah pada ketimpangan sosial antara kaum tak berdaya versus aparat yang berkuasa.

Frustasi Publik

Rasa frustasi publik pada kepolisian sebenarnya sedang memanas ditengah pengadilan Sambo. Ketidakpercayaan publik pada polisi pada kasus Sambo sebenarnya belum benar-benar membuat gerakan besar disebabkan korban pembunuhan adalah sama-sama polisi. Sehingga publik masih menganggap bahwa kasus Sambo hanyalah satu dari kekacauan elite kepolisian.

Namun berbeda dengan kasus Hasya, personalisasi kasus ini pada dasarnya mampu mengarahkan gerakan sosial yang lebih besar. Dalam kacamata publik, Hasya merupakan sosok mahasiswa baik-baik dari universitas terbaik Indonesia.

Dalam sebuah kecelakaan, Hasya yang mengendarai motor, tewas setelah menabrak sebuah mobil yang dikendarai oleh purnawirawan Polisi.
Pada 27 Januari 2023 Polisi kemudian menetapkan Harsya yang telah tewas menjadi tersangka. Lebih jauh kasus tersebut dihentikan dan tidak ada tindak lanjut pada proses hukum yang melibatkan purnawirawan Polisi tersebut.

Terlepas kesimpangsiuran realitas yang terjadi pada saat kecelakaan, namun penetapan tersangka tersebut telah melahirkan ketidakpercayaan publik yang semakin memuncak pada instansi kepolisian.

Rasa frustasi publik terhadap keadilan yang disebabkan ketidakpercayaan publik kepada institusi kepolisian merupakan hal yang berbahaya.

Menurut penelitian Andrew Goldsmith (2016), defisit kepercayaan pada kepolisian menunjukkan laju perkembangan sebuah negara. Menurutnya, defisit kepercayaan tersebut terjadi pada negara-negara dengan karakter otoritarianisme, pasca konflik dan terpecah belah.

Kondisi negara-negara pasca konflik, mencirikan respon warga negara dengan kepolisian sebagai sebuah kecemasan. Hal ini ditegaskan oleh Alemika (1999) yang mengkhususkan bahwa polisi dalam kondisi negara yang tidak sehat, cenderung lebih melahirkan rasa ketakutan daripada rasa aman, terutama bagi kelompok miskin dan tidak berdaya.

Pengalaman Kolektif
Kasus Hasya bisa menjadi salah satu pemicu dari berbagai trauma dari rasa frustasi publik kepada polisi. Tidak sedikit dari masyarakat yang pernah mengalami defisit kepercayaan dalam berbagai kasus yang melibatkan polisi. Pengalaman kolektif inilah yang mungkin saja dapat bergulir menjadi sebuah gerakan besar sebagaimana gerakan “black live matters” di Amerika.

Peran antagonis polisi, sebagai pihak yang berkuasa melawan seorang mahasiswa bernama Hasya adalah gambaran yang cukup bertolak belakang dengan fungsi polisi.

Pemenuhan rasa aman, dan jaminan fungsi ketertiban yang seharusnya diberikan oleh negara yang telah tererosi berpotensi dikompensasi melalui keamanan alternatif. Warga tidak lagi mengandalkan polisi sebagai pelindung, dan dalam erosi kepercayaan ini justru menempatkan polisi sebagai pihak antagonis.

Keamanan alternatif justru akan memperumit kehidupan bernegara. Tiap-tiap orang akan menggunakan moda keamanannya dalam upaya perlindungan pribadi.

Melalui erosi kepercayaan ini, pengalaman kolektif orang-orang, peran-peran antagonis, dan ketimpangan sosial akan terakumulasi. Boleh jadi tewasnya Hasya akan menjadi gerakan sosial yang mendesak reformasi kepolisian.

Pertanyaannya, apakah reformasi kepolisian tersebut harus dilakukan pasca orang-orang sudah turun kejalan? Semoga saja tidak.