
Jakarta (10/11) — Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto mengatakan upaya Presiden Jokowi melarang ekspor bijih nikel untuk menguntungkan Indonesia, kenyataannya menguntungkan Cina sebagai salah satu konsumen utama impor nikel dari Indonesia.
Klaim Jokowi yang mengatakan keuntungan hilirisasi nikel yang awalnya sekitar 15 triliun menjadi US$20,9 miliar atau Rp360 triliun, Rofik mengatakan sebenarnya hal tersebut merupakan dampak dari harga komoditas yang naik saat ini serta jumlah penambangan nikel yang meningkat, sehingga keuntungan yang dibanggakan tersebut menjadi tidak bermakna.
“Apalagi dikaitkan dengan proses nilai tambah dalam proses pemurnian nikel tersebut. Tanpa mengungkapkan cerita yang utuh dan lengkap, sangat sulit menilai bahwa hilirisasi nikel ini sudah berhasil,” ujar Anggota DPR RI Fraksi PKS tersebut.
Rofik pun juga menuding keuntungan yang sebenarnya digembor-gemborkan oleh pemerintah dinikmati oleh Cina, bukan rakyat Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam tersebut.
Rofik menyebutkan beberapa fakta di lapangan, antara lain sebagian besar bijih nikel di Indonesia, kurang lebih sebesar 95%, diolah oleh perusahaan Smelter Cina yang beroperasi di Indonesia.
Cina membelinya dari penambang dengan harga murah, karena harga patokan mineral dalam negeri yang kurang dari setengah harga nikel internasional.
“Pemerintah hanya menetapkan harga bijih nikel $34 per ton, sementara di Pasar Shanghai harganya mencapai $80 per ton. Industri smelter Cina ini juga tidak membayar royalti tambang sepeserpun karena mereka tidak menambang langsung,” tutur Anggota DPR RI Dapil Jateng VII tersebut.
Kedua, faktor pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pajak atau tax holiday (PPh badan) selama 25 tahun. Hal ini, menurut Rofik, juga turut menguntungkan pihak lain dan bukan kita sendiri.
“Ini artinya rakyat kehilangan kesempatan menikmati pendapatan tambahan dari nikel miliknya selama 25 tahun. Selain itu juga tidak perlu membayar pajak pertambahan nilai (PPN), padahal jelas-jelas mereka di sini melakukan pengolahan yang menaikkan nilai tambah dan nilai tambah itu sepenuhnya diambil oleh mereka semua,” tegas Rofik.
Ketiga, perusahaan smelter Cina juga sementara ini bebas dari pajak ekspor atau bea keluar karena belum diberlakukannya penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi berupa Feronikel dan NPI (Nickel Pig Iron).
“Selama belum diberlakukan maka selama itu pula kita kehilangan potensi penerimaan,” ujar Rofik.
Terakhir, Rofik mengungkapkan industri smelter Cina ini juga sebagian besar memanfaatkan tenaga kerja berasal dari negara mereka dengan mayoritas bukan dengan visa kerja.
“Ini juga merugikan penerimaan negara dari pendapatan tarif visa serta dari sisi pajak PPh individu,” tutur Rofik.
Berdasarkan fakta tersebut, Rofik menegaskan betapa kecilnya angka Rp360 triliun tersebut dikarenakan masih banyaknya lubang-lubang yang menyebabkan bocornya kesempatan negara untuk mendapatkan pendapatan yang maksimal dari sumber daya alam yang dimilikinya.
Nikel yang dibanggakan hilirisasinya ini menurut Rofik ternyata dinikmati oleh segelintir kelompok dan memajukan industri negara lain, salah satunya Cina.
“Sudah saatnya pemerintah mendorong pembangunan smelter milik warga Indonesia sendiri yang akan meningkatkan nilai tambah bijih nikel tersebut, sehingga kue nikel ini benar-benar dinikmati oleh rakyat kita,” tegas Rofik.