Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

HNW : Pentingnya Reaktualisasi Pancasila Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk Demokrasi yang Konstitusional

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Surakarta (06/07) — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK), yang belum lama ini menegaskan kembali penolakan terhadap perkawinan beda agama.

Sikap penolakan terhadap perkawinan beda agama, imbuh Hidayat, juga disampaikan oleh Pemerintah melalui wakilnya dalam persidangan di MK yaitu Menkumham dan Menteri Agama.

Baca juga: Sikap Pemerintah Tolak Nikah Beda Agama, HNW: Harus Diikuti Warga dan para Hakim!

“Penyikapan MK dan Pemerintah itu sesuai dengan Pancasila pasca Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang menegaskan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan tak terpisahkan dari Konstitusi,” ujarnya.

Sikap penolakan Pemerintah dan MK itu, tambah Hidayat, juga sesuai prinsip HAM yg diatur dalam Konstitusi (UUDNRI 1945) pasal 28 B ayat 1 dan pasal 28J ayat 2.

“Masalah pengajuan peninjauan kembali soal ketentuan Pernikahan beda Agama ke MK, hanyalah salah satu contoh betapa pentingnya Pancasila pasca Dekrit 5 Juli 1945 direaktualisasikan dalam bentuk yang benar. Agar rumah bangsa Indonesia ini selalu mendapatkan solusi yang konstitusional sesuai dengan ideologi Bangsa dan Negara yaitu Pancasila,” kata Hidayat menambahkan.

Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid, saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Dan Call For Papers, kerjasama Sekretariat Jenderal MPR RI dengan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Masyarakat Hukum TataNegara Muhammadiyah, dan Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, pada 5 Juli 2022.

Tema yang dibahas pada seminar nasional tersebut adalah Aktualisasi Pancasila Dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi Konstitusional Indonesia.

Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua MPR melakukan pemukulan gong sebagai penanda dimulainya Seminar Nasional.

Hidayat Nur Wahid yang akrab disapa HNW juga menyaksikan penandatangan kesepahaman dan kerjasama antara MPR dengan UMS, yang masing-masing dilakukan oleh Sesjen MP Dr. Maruf Cahyono, SH., MH., dan Rektor UMS Prof. Dr. Sofyan Anif, M.Si.

Pada kesempatan itu, Hidayat mengingatkan, bahwa 5 Juli bertepatan dengan hari digelarnya Seminar Nasional, memang memiliki arti penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena pada 5 Juli 1959, Presiden pertama RI ; Ir. Soekarno, mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit tersebut antara lain berisi berlakunya kembali UUD 1945.

“Tetapi tentunya sekalipun Seminar ini diselenggarakan pada 5 Juli, bertepatan dengan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit untuk antara lain kembali kepada UUD 45, bukan berarti Seminar ini justru mengajak Pemerintah untuk kembali kepada UUD 45 yang asli. Sebab selain kondisi politik dan sosialnya sangat berbeda, juga pastilah Rakyat dan kalangan akademis yang paham Konstistusi secara baik dan benar, tidak mau melakukan hal yang inkonstitusional. Karena antara lain, UUD 45 yang asli, tidak mengenal adanya Pemilu 5 tahun sekali, juga tidak mengenal adanya pembatasan masa jabatan Presiden. Sehingga kalau saat-saat ini isunya dibawa kepada kembali ke UUD 45 yang asli, maka hal itu akan mudah ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek untuk tiadakan Pemilu atau perpanjang masa jabatan Presiden hingga 3 periode atau bahkan hingga tanpa batas sebagaimana yang ada dalam UUD 45 yang asli itu. Dan hal yang demikian ini tidak sesuai dengan ketentuan baru dalam Konstitusi UUDNRI 1945 pasca amandemen. Karenanya saya berharap, justru dipilihnya tanggal 5 Juli untuk seminar Nasional ini, untuk mengingatkan hikmah dari peristiwa Dekrit 5 Juli 1945, antara lain untuk menemukan solusi berbangsa dan bernegara agar keluar dari deadlock, dan agar kita teguh dengan kesepakatan cita-cita Indonesia Merdeka dengan Pancasila sebagai dasar Negara sebagaimana kesepakatan Bapak-bapak Bangsa yang berkompromi menyepakati hadirnya gentlement agreement, atau Piagam Jakarta yang juga disebut sebagai Pembukaan UUD 1945, yang sifat konstitusionalnya menjadi nyata dengan adanya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959”kata Hidayat menambahkan.

Karenanya HNW menegaskan kembali bahwa
Pelaksanaan seminar nasional pada 5 Juli bertepatan dengan lahirnya Dekrit Presiden Soekarno, kata Hidayat, bukan berarti ingin membangkitkan kembali peristiwa mensejarah untuk ditunggangi dengan wacana sebagian kelompok yang mengkampanyekan penundaan pelaksanaan pemilu 2024, dan juga wacana presiden tiga periode.

Apalagi Pimpinan MPR sudah menegaskan bahwa MPR tidak mempunyai agenda amandemen UUD untuk memperpanjang masa jabatan Presiden, dan bahkan Badan Pengkajian MPR sudah menyepakati tidak melanjutkan usulan amandemen terbatas untuk hadirkan PPHN, agar tidak ditunggangi oleh kepentingan perubahan Konstitusi untuk perpanjang masa jabatan Presiden.

“Dengan demikian makin tidak relevan lagi menjadikan peringatan Maka hendaknya para Pakar dan akademisi melalui seminar ini menggali hikmah dan sisi-sisi yang relevan dari dekrit itu untuk aktualisasi dan reaktualisasi Pancasila dalam semangat keyakinan Presiden RI, Bung Karno, bahwa Piagam Jakarta yang di dalamnya ada rumusan Pancasila yg disepakati olh BPUPK, dan nantinya pada 18 Agustus 1945 disepakati oleh PPKI dalam rumusan finalnya sebagai dasar dan ideologi Negara. Agar kehidupan demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan UU yang diberlakukan di Indonesia benar-benar sesuai dengan semangat Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1945 yang pada tanggal 22 Juli 1945 mendapatkan persetujuan secara aklamasi, oleh seluruh anggota DPR hasil Pemilu tahun 1955 yang dinilai sebagai Pemilu yang paling bersih dan jujur,” urai HNW.

Agar dengan demikian, katanya, laku demokrasi konstitusional di Indonesia dapat mencerminkan kesungguhan dan kejujuran melaksanakan semua sila dari Pancasila, sehingga hadirlah demokrasi konstitusional dan solutif untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi dan Reformasi.

“Ketentuan ini jadi penting untuk terus dikaji dan disosialisasikan, apalagi MPR pada era Reformasi juga sudah memutuskan bahwa Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya ada rumusan Pancasila, tidak
bisa dilakukan perubahan. Itu artinya dengan berlakunya Dekrit 5 Juli 1945, maka Pancasila yang menjiwai UUD 45 dan bagian tak terpisahkan dari Konstitusi, tidak bisa diubah dan harus menjadi acuan Nasional saat ingin mempraktekkan demokrasi konstitusional di Indonesia”, terang HNW.

Baca juga: Sepakat dengan MUI, HNW: Perkawinan Beda Agama Perlu Dikoreksi, Tak Sejalan dengan Konstitusi

Hal ini, imbuhnya, makin dirasakan nilai penting dan mendesaknya, karena Bangsa Indonesia sudah memasuki tahun Politik.

“Agar seluruh agenda dan manuver Politik menuju Pemilu serentak tahun 2024 betul-betul berlandaskan Pancasila itu, sehingga dapat memberikan harapan/optimisme, dengan tidak mengulangi permasalahan2 seperti pembelahan dllnya yang terjadi pada Pemilu tahun 2019 dan yang sebelumnya juga”, pungkasnya.