
Jakarta (11/05) — Seiring membaiknya kondisi keuangan perusahaan, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mendesak manajemen PT. Freeport Indonesia (PTFI) membayar hak-hak karyawan yang dirumahkan.
Mulyanto meminta PTFI menyelesaikan masalah ini segera mengingat masalah-masalah ketenagakerjaan ini berlangsung sejak 2017.
“Kini saat yang tepat bagi PTFI untuk menyelesaikan PR yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun tersebut. Pemerintah juga segera ambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan biarkan berlarut-larut. Apalagi sekarang kondisi PTFI sedang bagus-bagusnya,” terang Mulyanto.
Baca Juga : Legislator PKS: Smelter Freeport Enggan Bangun, Pemerintah Harus Tegas!
Wakil Ketua FPKS DPR RI itu menyebut ada beberapa hal mendasar yang mendukung PTFI menyelesaikan masalah ini. Pertama terkait dengan implementasi UU No.4/2009 tentang Minerba yang ditingkatkan melalui UU No.3/2020, bisa dibilang telah mencapai kemajuan.
Saat ini PTFI sudah tunduk pada rejim ‘perijinan’, padahal sebelumnya berbentuk ‘kontrak karya’ pertambangan.
“Kemudian, divestasi saham PTFI secara bertahap sebanyak 51 persen kepada Pemerintah Indonesia telah dilaksanakan dengan baik. Artinya, kini PTFI adalah BUMN, dimana Pemerintah adalah pemilik saham terbesarnya,” tulisnya.
Terakhir terkait dengan pembangunan smelter tembaga. Perkembangan pembangunan smelter ini sudah terlihat dan diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2023.
“Selain itu, yang juga penting, di tahun 2021 diperkirakan PTFI sudah kembali meraup untung. Menteri BUMN, Erick Thohir, menyebut angka sekitar Rp 40 triliun pada tahun 2021. Dari keuntungan tersebut dilaporkan telah dilaporkan kepada Pemerintah, dalam hal ini PT Inalum, sebesar Rp 15 triliun Dengan atmosfer PTFI yang kondusif ini diharapkan dialog yang lebih konstruktif, untuk mencari jalan keluar yang terkatung-katung lama ini, dapat dilakukan lebih cair,” imbuh Mulyanto.
Baca Juga : Anggota Komisi VII FPKS: Pemerintah Harus Tegas Hadapi Freeport
Sebelumnya diinformasikan dari buruh PTFi di Papua menggelar aksi mogok kerja sejak 1 Mei 2017. Dalam lima tahun pemogokan ini, lebih seratus orang meninggal dunia karena depresi atas terkatung-katungnya nasib mereka. Pemerintah dinilai gagal mengambil langkah penyelesaian.
Pemogokan yang dimulai pada 1 Mei 2017 ini dipicu oleh langkah-langkah PT Freeport menerapkan kebijakan ketenagakerjaan, seperti memotong atau merumahkan karyawan. Langkah itu diambil karena ketika itu, PT Freeport ragu-ragu dengan masa depan operasional dan investasinya di Papua.
Langkah perusahaan disikapi oleh buruh dengan melakukan pemogokan kerja. sejak saat kehilangan itu, buruh dan PT Freeport tidak menemukan titik temu, dan buruh itu pendapatan tanpa ada gaji atau pesangon yang menjadi hak meraka.
“Fraksi PKS menyesalkan lalainya dan ketidakpedulian Pemerintah dalam penanganan kasus mogok kerja sehingga berlarut-larut selama 5 tahun sampai hari ini,” tutur Mulyanto.
Dari awal, tambahan, seharusnya Pemerintah peka dan tanggap untuk menyelesaikan keinginan ini. Apalagi ini menyangkut perbedaan hukum dari masing-masing pihak memahami pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjelaskan perbedaan ini.
Baca Juga : Politisi PKS Kecam Freeport Negosiasikan Kewajiban Membangun Smelter
“Fraksi PKS Mendesak Pemerintah untuk saat ini segera turun tangan menyelesaikan masalah ini mengingat PT Freeport Indonesia sudah menjadi BUMN di bawah MIND ID yang sahamnya sebesar 51% sudah dimiliki Pemerintah. Hal ini agar hak-hak karyawan Freeport bisa dipenuhi sesuai peraturan perundangan yang berlaku, ” ujarnya.
Pemerintah untuk tegas dalam UU Ketenagakerjaan dan memfasilitasi proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar hak-hak karyawan Freeport dipenuhi. Putusan kasasi MA dapat dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan ini.
“Fraksi PKS meminta Pemerintah mengajukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di perusahaan Freeport agar tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan peraturan perundangan sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa depan,” tutup Mulyanto.