
Kita sempat berprasangka baik ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan terjadi cacat formil terhadap undang-undang Cipta kerja, maka sejak saat itu tidak ada lagi pembahasan Rancangan Undang- Undang yang terburu-buru, tergesa-gesa dan terabas-terabas pembentuk UU. UU Cipta kerja setelah di “ketok” lebih dari lima kali koreksi dan revisi. Sebuah cela sejarah dalam proses monumental bernegara. Setelah itu kita berharap akan lebih hati-hati, cermat dan seksama.
Harapan tak kunjung datang, justru cemas semakin menderu karena di undang-undang ibukota negara kita menyaksikan sesuatu yang lebih dahsyat, dimana satu undang-undang dikerjakan dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, padahal di dalamnya berkonsekuensi pada pengorbanan dana, waktu, sumber daya manusia, dan sumber daya alam. Karena apa yang didiskusikan, diperdebatkan dan diputuskan jauh berbeda dengan kesimpulan akhir. FPKS Berusaha keras mengingatkan agar STOP, kita sedang pandemi dan berjuang dalam ekonomi. Tok UU IKN!
Kehendak hadirkan IKN di masa pandemi tidak ada yang berkurang dari prosesnya karena semua bertambah, baik kuasa maupun realita; luasan lahan bertambah dari 180 ribu ha di rencana awal, saat ini menjadi sekitar 256 ribu ha, awalnya janji tidak bebani Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN), faktanya menggunakan dan hampir saja gunakan Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).
Ada lagi yang bikin terperanjat setelah palu diketok, kuasa perencanaan tidak tahu bahwa di dalam IKN Ada Konsesi Tambang. Tidakah juga tahu bahwa ada data 149 lubang bekas tambang? itu yang terlihat. Tidakah tahu juga bahwa ada banyak “lubang-lubang” lain di sisi kebijakan publik; bencana lingkungan hidup, inkonstitusional satatus IKN, potensi beban keuangan, kerentanan pertahanan dan keamanan, mobilisasi aparatur sipil negara (ASN), dan banyak hal lain. Tok! 16 jam lebih dari cukup untuk menuntaskan itu.
Memang perdebatan di dalam pembahasan undang-undang ibukota negara terjadi, partisipasi publik dilakukan, kajian akademis tersedia, Tapi itu semua seperti sebuah hal yang memang harus dilalui atau prosedur semata. Prasyarat minimal, tanpa subtansi yang jauh dari optimal.
sisanya biarkan publik berpolemik dan berprotes, toh merasa pada akhirnya bisa diselesaikan dengan pendegung yang berargumentasi ‘luntang lantung’ dan ‘sekenanya’.
Kita patut merasa prihatin ketika kehendak yang memaksakan kehendak. Bertalu-talu jadi tumpukan masalah.
Pemindahan ibu kota negara bukanlah semata persoalan memindahkan epicentrum kegiatan kenegaraan kepada suatu daerah, tapi dia juga bicara tentang bagaimana melibatkan publik sebanyak-banyaknya. Karena pemilik saham terbesar adalah rakyat.