Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pendapat FPKS DPR RI Terhadap RUU Tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

PENDAPAT
FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
==============================================================
Disampaikan oleh : DR. H. Mulyanto, M.Eng
Nomor Anggota : A-450

Bismillahirrahmanirrahiim;
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Salam Sejahtera untuk kita semua

Yang kami hormati:
– Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR-RI
– Rekan-rekan wartawan serta hadirin yang kami muliakan

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan kasih sayang dan rahmat-Nya, kita bisa menghadiri Rapat Pleno Badan Legislasi sebagai bentuk tugas mulia kita dalam menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan.

Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR-RI serta hadirin yang kami hormati,

Menyikapi hasil Panja Badan Legislasi perihal penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyampaikan catatan-catatan sebagai berikut:

Pertama; Berkaitan dengan Metode Omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Fraksi PKS menegaskan bahwa metode apapun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU harus menggunakan metode yang pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut. Hal ini bertujuan untuk menciptakan tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga produk hukum yang nantinya akan dibentuk menjadi mudah untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengalaman penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan Metode Omnibus, upaya untuk akselerasi pencapaian tujuan undang-undang tidak boleh dilakukan dengan menyimpangi tata cara dan pedoman baku yang berlaku demi mencapai tujuan tersebut karena hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 perihal Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUDNRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: telah terbukti secara hukum bahwa tata cara pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus yang mempunyai sifat kekhususan tersebut.

Kedua; Fraksi PKS memberikan catatan kritis terkait penggunaan Metode Omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu dengan mengusulkan sejumlah prasyarat penggunaan Metode Omnibus untuk menjamin adanya kepastian hukum, meningkatkan kualitas legislasi, dan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang. Berdasarkan Pasal 1 Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Metode Omnibus adalah metode penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan materi muatan baru atau menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, dan/atau mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 42A Jo. Pasal 64 Draft RUU ini bahwa penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dapat menggunakan Metode Omnibus yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Fraksi PKS mengusulkan prasyarat penggunaan Metode Omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut:

a. Bahwa Metode Omnibus hanya dapat digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan adanya urgensi tertentu yang melibatkan beberapa peraturan dalam satu topik khusus tertentu (Kluster). Hal ini agar penyusunan peraturan perundangan tersebut fokus hanya berkaitan dengan satu tema spesifik yang tersebar dalam berbagai peraturan untuk digabungkan dalam satu peraturan perundang-undangan baru dengan Metode Omnibus. Adapun penggunaan Metode Omnibus ini harus disepakati dalam perencanaan, yang dalam penyusunan undang-undang harus disepakati oleh DPR, DPD, dan Pemerintah dalam penyusunan Prolegnas;

b. Bahwa diperlukan pembatasan yang rasional berkaitan dengan jumlah peraturan perundang-undangan yang dapat digabungkan pembahasannya dengan menggunakan Metode Omnibus. Dikhawatirkan terlalu banyak peraturan perundang-undangan yang digabungkan dengan Metode Omnibus dapat berpengaruh pada menurunnya kualitas produk legislasi karena pembahasannya menjadi tidak fokus, tidak sejalan dengan sistematika undang-undang sektoralnya, serta banyak materi muatan yang harus dibahas namun dalam waktu yang tidak memadai;

c. Bahwa diperlukan pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus agar penyusunannya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik. Belajar dari pengalaman penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 yang berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77 (tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1 (satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang yang dibahas dalam waktu relatif singkat (sejak 20 April s.d. 3 Oktober 2020) sehingga pembahasannya tidak optimal karena minimnya akses partisipasi publik. Oleh karena itu, perlu diatur perihal alokasi waktu penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus dengan memperhatikan jumlah undang-undang yang digabungkan.

Ketiga; Fraksi PKS menolak ketentuan tentang perbaikan Rancangan Undang-undang setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam Rapat Paripurna DPR karena hal ini membenarkan praktik legislasi yang tidak baik sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang. Meskipun dalam Pasal 72 Ayat (1a) Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa perbaikan hanya meliputi perbaikan terhadap kesalahan teknis penulisan yang dilakukan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut, namun pada praktiknya ketentuan ini rawan untuk disalahgunakan. Seperti yang terjadi pada saat pengesahan RUU tentang Cipta Kerja dimana terdapat perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan, termasuk juga mengubah substansi dan terdapat salah dalam pengutipan. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) terdapat perubahan atas Pasal 46 yang menyatakan:

Pasal 46
(1)Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2)Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.
(3)Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai:
a.ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak:
b.cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
c.pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
d.tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
e.harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan
f.pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
(4)Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”

Namun, pada halaman 227-228 UU Nomor 11 Tahun 2020 (setelah disahkan/diundangkan) Pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2001. Selain itu, masih terdapat banyak perubahan substansial lainnya pasca pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut yang menunjukkan adanya ketidaksinkronan, adanya perubahan yang menghilangkan kepastian hukum, serta terdapat pula kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal sehingga tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Keempat; Fraksi PKS menegaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat, baik dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum secara keseluruhan dengan memperhatikan sebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, untuk mengoptimalkan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, Fraksi PKS mendorong agar setiap rancangan peraturan perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas sehingga memberikan kesempatan kepada publik untuk turut mengkritisi dan memberikan masukan. Sejatinya sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, masyarakat memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) dalam proses penyusunan kebijakan publik yang akan berdampak kepada masyarakat. Belajar dari penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menggunakan Metode Omnibus, dalam persidangan Mahkamah Konstitusi terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, namun pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. Terlebih lagi Naskah Akademik dan Rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan asas keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang yang mengakibatkan RUU tersebut dapat dibatalkan secara hukum.

Kelima; Fraksi PKS memberikan catatan perihal pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan berbasis elektronik untuk diperjelas mengenai ruang lingkup dan pembatasannya agar dalam praktiknya tidak menimbulkan multitafsir. Perlu diperjelas mengenai apa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, apakah meliputi proses pembahasan dalam rapat-rapat di DPR yang dapat dilakukan secara virtual tanpa kehadiran fisik di ruang rapat. Dalam Pasal 97B Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya disebutkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan berbasis elektronik. Pembubuhan tanda tangan dalam proses pengesahan atau penetapan dan pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik menggunakan tanda tangan elektronik yang harus tersertifikasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik berkekuatan hukum sama dengan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dalam bentuk tercetak. Fraksi PKS menilai pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.Kesiapan sumber daya manusia dan fasilitas untuk menunjang optimalnya pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik;
b.Dalam praktiknya, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik jangan sampai melemahkan hak Anggota DPR untuk berpendapat karena keterbatasan ruang virtual dibandingkan dengan ruang nyata dalam rapat-rapat di DPR;
c.Pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik ini harus dibatasi pelaksanaannya jangan sampai dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat yang membabi buta agar suatu peraturan segera disahkan di tengah kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya Pandemi Covid 19 seperti sekarang ini.

Keenam; Fraksi PKS mengkritisi perihal pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang diambil alih menjadi dikoordinasikan oleh Menteri atau Kepala Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam Pasal 58 Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dan dari Gubernur dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Ketentuan ini telah menghilangkan kewenangan dari Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BAPEMPERDA) dalam melakukan pengharmonisasian terhadap Rancangan Peraturan Daerah, yang kemudian kewenangannya diberikan kepada instansi pusat. Ketentuan ini menegasikan peran dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena pengambilalihan kewenangan tersebut sangat sarat dengan upaya sentralisasi yang mencederai semangat otonomi daerah yang telah diperjuangkan selama ini.

Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR-RI serta hadirin yang kami hormati,
Berdasarkan catatan kami tersebut, dengan memohon taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan MENOLAK untuk dilakukannya pengambilan keputusan pada hari ini sebelum adanya perbaikan-perbaikan yang menjadi catatan penting FPKS terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk ditetapkan sebagai RUU Usul DPR-RI

Demikian Pendapat Fraksi PKS ini kami sampaikan. Semoga Rapat Pleno Badan Legislasi hari ini memperoleh kesimpulan yang terbaik, sebagai ikhtiar kita untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi dan mencatat ikhtiar kita bersama dalam Rapat ini sebagai bagian dari amal terbaik kita untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Atas perhatian Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR-RI serta hadirin sekalian kami ucapkan terima kasih.

Billahi taufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Jakarta, 06 Rajab1443 H
07 Februari 2022

PIMPINAN
FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua, Sekretaris,

DR. H. Jazuli Juwaini, MA. Hj. Ledia Hanifa, A. S.Si. M.Psi. T. A-449 A-427

File lengkap dapat didownload di sini:
PENDAPAT FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN