Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Terkait Referendum Perpindahan Ibukota, HNW: UU IKN Wajarnya Libatkan Rakyat Indonesia

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (19/01) — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid menilai bahwa pemindahan Ibukota Negara merupakan suatu hal yang sangat krusial, menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh Warga NKRI, bukan hanya terkait dengan sebagian elit politik di Jakarta.

Maka, kata pria yang akrab disapa HNW, sudah sewajarnya bila dalam proses pembuatan dan pengujian keputusannya juga melibatkan sebanyak-banyaknya komponen Rakyat Indonesia.

“Melalui salah satu caranya adalah referendum (jajak pendapat) rakyat Indonesia sebagai wujud nyata membuka peluang partisipasi masyarakat seluas-luasnya,” ungkap Hidayat.

Hal ini, imbuhnya, sebagaimana ketentuan dasarnya jelas tercantum dalam Pasal 96 UU no 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

“Saya menyayangkan RUU yang membahas soal Ibukota Negara yang disetujui oleh Pemerintah dan DPR, tetapi dalam proses pembahasannya belum membuka partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam UU. Terbukti banyak kritikan dari para Pakar dan Tokoh Senior seperti Prof Emil Salim, Rizal Ramli, Didiek J. Rahbini dan lainnya, juga dari Walhi, IAI, dan bahkan penolakan dari masyarakat pasca RUU tersebut disetujui,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (19/01).

Bahkan, lanjut HNW, baru satu hari RUU tersebut disetujui di DPR, suara penolakan terbuka justru datang dari Kalimantan Timur, yakni Provinsi keberadaan dari IKN baru, dimana sebagian warga menyampaikan penolakan terhadap UU IKN dengan membentuk Koalisi Masyarakat Kaltim, yang terdiri dari Walhi Kaltim, LBH Samarinda dan Jatam Kaltim.

“Karena mereka merasa tidak mendapatkan sosialisasi yang cukup maupun akses untuk bisa berpartisipasi sebagaimana hak itu diberikan oleh UU. Wajar mereka menyampaikan sikapnya termasuk bila masyarakat akan melakukan referendum, yang tentu saja referendum yang dimaksud disini adalah Referendum secara umum yang pengertiannya disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai wujud partisipasi publik dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan referendum jenis itu bukanlah Referendum untuk ubah UUD 1945, karena referendum jenis itu sudah dihapuskan oleh TAP MPR no VIII/1998, dan UU No 6 Tahun 1999,” ujarnya.

Bila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imbuh HNW, makna referendum secara umum adalah ‘penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen; penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat)’.

Sebagai informasi, usulan referendum ini disampaikan HNW dalam Public Expose RUU IKN yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI, Selasa (18/1).

Hal diberlakukannya referendum tersebut dinilai penting juga karena alasan yang lain yaitu untuk menjawab permintaan izin dari Presiden Jokowi.

Diketahui umum, bahwa Presiden Joko Widodo pernah meminta izin kepada Rakyat Indonesia (bukan sekedar wakil Rakyat Indonesia) untuk memindahkan ibukota. Permintaan izin itu disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di MPR.

Faktanya, setelah permohonan izin tersebut hingga disahkannya UU oleh DPR, sekalipun ditolak oleh PKS, belum ada jawaban dari Rakyat Indonesia, apakah mengizinkan atau belum mengizinkan.

“Nah hal ini perlu dipastikan juga, baik secara ethika (menjawab permohonan izin), maupun demokrasi konstitusional dimana UUDNRI 1945 (pasal 1 ayat 2) yang dengan jelas menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan Rakyat,” ujar HNW.

HNW mengatakan bahwa upaya meminta jawaban atau pandangan dari rakyat Indonesia dapat membuat keputusan memindahkan atau tidak memindahkan ibukota negara semakin memenuhi tata krama dan memiliki legitimasi.

“Ini wajar dilakukan, agar suatu kebijakan sekelas pemindahan Ibukota Negara yang menyangkut seluruh warga negara itu, bisa berlaku dengan elegan, karena rakyat telah dihormati haknya, dan secara ‘legowo’ telah menyampaikan pendapatnya. Sehingga apabila ditolak oleh mayoritas rakyat, dan apalagi bila MK mengabulkan judicial review soal IKN ini, maka seharusnya Pemerintah dan DPR secara legowo, mengkoreksi dan tidak melanjutkannya,” terang HNW.

Lebih lanjut, Anggota DPR RI dari Dapil Jakarta II meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri ini mengaku bahwa dirinya juga mendapat banyak aspirasi penolakan terhadap RUU IKN dan pemindahan Ibukota.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh masyarakat saat HNW melakukan kegiatan reses DPR RI untuk bertemu dengan konstituen di dapilnya.

“Suara-suara itu disampaikan langsung kepada Saya, baik dari para tokoh maupun masyarakat biasa. Mereka tidak sepakat dengan RUU IKN dan perpindahan ibukota ini. Aspirasi penolakan tersebut juga disampaikan oleh sebagian konstituen dari Luar Negeri. Yang sangat tahu bahwa beberapa negara seperti Australia, Myanmar dan Malaysia sudah memindahkan Ibukotanya. Tetapi tidak ada yang melakukan perpindahan itu saat ekonomi negara lagi berat dengan hutangnya, apalagi dalam kondisi pandemi covid-19, seperti yang terjadi dalam program pemindahan Ibukota di Indonesia,” ujarnya.

“Hal yang juga menjadi alasan mengapa PKS menolak RUU IKN, walaupun menjadi satu-satunya Fraksi di DPR yang menolak. Itu semua karena PKS mementingkan agar Presiden Jokowi memberlakukan asas prioritas dengan terlebih dahulu merealisasikan janji-janji kampanyenya saat jadi capres, karena pemindahan ibukota tidak ada dalam UU RPJP maupun dalam janji kampanye Jokowi saat pilpres. Apalagi masih berlanjutnya covid-19 dan makin bertambahnya hutang negara. Mestinya karenanya, prioritas Negara juga agar anggaran yang ada dimaksimalkan untuk membantu Rakyat mengatasi covid-19 dan dampak-dampak ekonominya, bukan untuk memindahkan atau membangun Ibukota Negara yang tidak ada dalam janji/program kampanye pilpres, dan bukan prioritas keperluan Rakyat,” lanjutnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan agar Pemerintah dan mayoritas Fraksi di DPR sungguh-sungguh mengambil pelajaran dari permasalahan pembahasan RUU Cipta Kerja sebelumnya.

Tapi sayangnya, RUU IKN ini jadi mirip seperti RUU Cipta Kerja yang pembahasannya dilakukan dengan minim partisipasi publik, dan berlaku dengan secara tergesa-gesa. Dan tidak sebagaimana dinafikan oleh salah satu Anggota Pansus IKN, ternyata menurut Wakil Ketua DPR Sufi Dasco, sebagaimana dikutip oleh banyak media nasional, Pansus RUU IKN juga tetap menyelenggarakan rapat sekalipun dimasa reses.

“MK menyatakan RUU Cipta Kerja itu sebagai inkonstitusional bersyarat, karena tidak memaksimalkan pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya, sebagaimana aturannya sangat jelas disebutkan dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan kali ini terulang kembali dalam pembahasan RUU IKN. Jadi, wajar saja bila ada warga negara yang merasa hak konstitusionalnya untuk didengar partisipasinya belum terpenuhi, kemudian menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengajukan peninjauan (judicial review) ke MK. Dan saya menghormati hak konstitusional warga terkait dengan partisipasi, atau gelar jajak pendapat dengan referendum, maupun mengajukan peninjauan (judicial review) ke MK,” terang HNW.

“Dan berharap agar seluruh mekanisme yang dibenarkan oleh UU maupun UUD untuk dapat dipergunakan, sehingga terkait dengan Ibukota negara ini (pindah maupun tidaknya) agar betul-betul mendapatkan ke-legowoan dan legitimasi yang kuat dari Rakyat Indonesia,” pungkas HNW mengakhiri.