
Jakarta (15/01) — Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS, Nasir Djamil mengkritisi wacana perubahan kedua terhadap UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pendapat Anggota legislatif dari Dapil Aceh tersebut, merupakan tanggapan terhadap pernyataan Ketua DPR-RI Puan Maharani dalam pidato Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022.
Dalam pidato tersebut, Ketua DPR RI tersebut menyatakan bahwa UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan perlu dubah kembali sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi(MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada pokoknya menyatakan UU Cipta Kerja inskonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Nasir Jamil melihat pernyataan pimpinan DPR-RI tersebut menunjukkan bahwa politik legislasi yang dibawa koalisi pemerintah cenderung pada pendekatan teknokratis daripada menjaga konsistensi pada prinsip konstitusionalisme.
“Saya melihat ada kesalahan sudut pandang dalam menafsirkan Putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Padahal yang inskonstitusional menurut MK adalah UU Cipta Kerja, namun yang diubah justru UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.” ujarnya.
Legislator PKS dari Dapil Aceh tersebut melihat pendekatan dan penyikapan Pimpinan DPR terhadap Putusan MK tersebut kurang tepat.
Pendekatan teknokratis dengan mengubah UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkesan lebih pragmatis karena orientasi dikhawatirkan hanya sebagai justifikasi untuk mempertahankan Omnibus Law(UU Cipta Kerja).
Permasalahannya keberatan masyarakat selama ini terhadap UU Cipta Kerja tidak hanya pada aspek formil tapi juga substansi undang-undang nya yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat dan kepentingan nasional pada umumnya.
“Sejak pembahasan dan pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja, Fraksi PKS sudah mengingatkan bahwa RUU ini bermasalah baik secara formil maupun substansinya. Oleh sebab itu saya sangat setuju dengan salah satu pertimbangan putusan MK tersebut bahwa tujuan sesekali tidak boleh menghalalkan segala cara. Dalam semangat konstitusionalisme, DPR seharusnya berorientasi pada penegakan dan penghormatan tertib hukum bukan kepentingan transaksional, sehingga yang seharusnya diubah dan disesuaikan adalah UU Cipta Kerja itu sendiri. Fraksi PKS terbuka untuk membahas Kembali UU Cipta Kerja” tegasnya.
Selain itu masuknya usulan dan pembahasan RUU tentang perubahan kedua terhadap UU No.12 Tahun 2011 dalam masa persidangan ini dapat dipersoalkan dalam sudut pandang program legislasi nasional.
“Memang benar bahwa putusan MK dapat menjadi pintu masuk pembahasan UU Insidentil atau dalam istilah teknisnya daftar kumulatif terbuka. Tetapi sekali lagi yang bermasalah adalah UU Cipta Kerja bukan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” tutup legislator dari Aceh tersebut.