Jakarta (14/01) — Anggota Komisi II Fraksi PKS DPR RI Teddy Setiadi mengkritisi bentuk Pemerintahan di Ibukota Negara baru dalam Rancangan Undang-Undang Ibukota Negara (RUU IKN) yang kurang mengakomodasi proses-proses demokratis dalam pengelolaan wilayah Ibukota Negara.
Hal ini bisa dilihat dari pengelolaan wilayah IKN (Ibukota Negara) yang terlalu berpusat di Presiden dan Badan Otorita Ibukota Negara.
“Pengelolaan IKN ini executive-heavy. Peran presiden sangat sentral dalam pengelolaan Badan Otorita IKN lewat adanya wewenang pengangkatan, pemberhentian hingga tata kelola pemerintahan“ ujar Teddy Setiadi, Anggota Fraksi PKS DPR RI pada hari Rabu (12/1) di Jakarta.
Teddy juga melihat bahwa wewenang Badan Otorita IKN terlalu besar. Selain berperan dalam proses pemindahan, pembangunan dan persiapan ibukota Negara, Badan Otorita juga mengeluarkan peraturan daerahnya sendiri tanpa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Hal ini dapat berpotensi melanggar konstitusi Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Tanpa adanya lembaga DPRD akan menghasilkan resentralisasi pusat, mereduksi semangat otonomi daerah dan demokrasi yang partisipatif di IKN. Hal ini menurut Teddy bermasalah karena Badan Otorita memiliki wewenang atas sebuah wilayah dan populasi.
“Bagaimana kita bisa menjamin bahwa peraturan yang dihasilkan bersifat demokratis dan mengakomodir semua pihak? Badan Otorita tidak bisa bikin peraturan sendiri tanpa konsultasi dengan warga setempat yang menjadi penduduk wilayah RUU IKN ”ujar Teddy.
Sementara itu, peran DPR dalam RUU IKN relatif lebih sedikit dibandingkan Presiden dan Badan Otorita Ibukota Negara. Menurut Teddy, DPR hanya berperan sebagai tempat konsultansi Presiden terkait pemberhentian, penunjukan dan pengangkatan Kepala Badan Otorita IKN. Dengan kondisi seperti ini, pengawasan terhadap kinerja Badan Otorita Ibukota Negara cenderung minim.
“Belum ada klausul yang jelas dalam RUU ini terkait pengawasan kinerja Badan Otorita IKN. DPR sendiri wewenangnya di bagian ini terbatas” ujar Teddy.
Menurut Teddy, minimnya pengawasan terhadap Badan Otorita IKN dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Badan Otorita IKN bisa bertindak sendiri tanpa ada teguran dari institusi pemerintah lainnya. Hal ini akan berdampak buruk pada pengelolaan Ibukota Negara yang diyakini dapat menimbulkan dampak sosial besar ke masyarakat sekitarnya.
Terakhir, Kepala Badan Otorita IKN dapat diangkat 5 tahun sekali sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama. RUU ini tidak menyebutkan klausul mengenai batas berapa kali menjabat.
“Artinya, Kepala Badan Otorita IKN bisa menjabat 10 tahun lebih atau seumur hidup jika selama 5 tahun sekali Presiden memperpanjang masa jabatannya. Ini kurang demokratis karena kurang menjamin adanya pergantian kepemimpinan di suatu wilayah. Padahal ini penting“, tutup Teddy.