Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pengesahan RUU TPKS Perlu Bersamaan RUU KUHP Agar Tidak Bermakna ‘Sexual Consent’

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (12/01) — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk menjadi Hak Inisiatif DPR, perlu dilakukan bersamaan dengan pengesahan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah carry-over di periode DPR RI 2014-2019.

Hal itu, menurut Ledia, agar RUU TPKS tersebut tidak menjadi legitimasi adanya persetujuan seksual (sexual consent) yang bertentangan dengan norma Sila Pertama di Pancasila.

“Kita berpikir bahwa agar RUU TPKS ini tidak bermakna sexual consent, maka ada solusi yang kita tawarkan. Sama-sama kita sahkan bareng dengan RUU KUHP yang seharusnya di carry-over dari periode lalu,” ujar Ledia dalam diskusi yang disiarkan oleh salah satu lembaga riset via kanal Youtube pada Senin (10/1/2022). Siaran itu dikutip Parlementaria pada Selasa (11/1/2022).

Menurut Ledia, substansi perdebatan RUU TPKS tersebut adalah pada soal bab pidana tentang kekerasan dalam hubungan badan, baik yang dilakukan dalam koridor sah suami/istri atau non sah suami/istri. Dengan kata lain, jika hubungan badan tersebut dilakukan dalam koridor persetujuan suka sama suka, meskipun non suami/istri yang sah, selama tidak terjadi kekerasan, maka tidak dapat dipidana.

“Padahal kita tahu dalam Negara Pancasila ini ada Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan perilaku tadi,” ujar Ledia.

Karena itu, tambah Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI ini, RUU TPKS belum perlu untuk disahkan saat ini, mengingat terdapat tiga hal yang berkaitan dengan persoalan pidana, yaitu Kekerasan, Kebebasan, dan Penyimpangan Seksual. Jika hanya satu aspek kekerasan saja yang dibahas, maka akan timbul pemahaman yang berkaitan dengan sexual consent tersebut.

“Jadi tiga hal itu sebenarnya sudah diatur dalam RUU KUHP yang pada September 2019 sudah mau disahkan, namun ditarik Presiden untuk tidak dilanjutkan dibahas. Padahal waktu itu sudah masuk pembahasan tingkat I, bertahun-tahun dibahas, sudah bisa diselesaikan sebetulnya. Atau tiga norma itu dimasukkan ke dalam RUU TPKS sehingga menjadi satu kesatuan,” ujar mantan Ketua Panja Revisi Pertama RUU Perlindungan Anak ini.

Dengan demikian, urai Anggota Komisi X DPR RI ini, pemahaman terhadap tiga norma di atas dapat selaras dengan Keputusan MK tahun 2017, khususnya Pasal 284, yang menegaskan bahwa kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru, termasuk perluasan pemaknaan terhadap zina, berada di tangan pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah.

“Jadi, sebetulnya kita melihat bahwa ketika kemudian RUU TPKS hanya membahas kekerasan, tetapi tidak membahas penyimpangan dan kebebasan seksual maka ini akan sama dengan kita melihat perkembangan bagaimana sexual consent ala barat itu terjadi,” tutup legislator dapil Jawa Barat I itu.

Diketahui, saat ini DPR telah menegaskan komitmennya untuk segera mengesahkan RUU TPKS menjadi RUU Inisiatif DPR RI. Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menjelaskan RUU yang telah dibahas sejak periode lalu tersebut, sudah selesai diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada masa sidang sebelumnya.

“RUU TPKS perlu segera dibahas dan ditetapkan oleh DPR RI bersama Pemerintah. Pimpinan DPR RI akan segera menindaklanjuti RUU TPKS sesuai dengan ketentuan mekanisme, sehingga minggu depan RUU TPKS dapat disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI, dan selanjutnya akan dibahas bersama Pemerintah,” jelas Puan saat membacakan pidato pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021–2022 DPR RI di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (11/1/2022).