Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Bukhori Resmikan Reading Collection Ahmad Yasin Asy’ari (AYA) Unissula Semarang

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Semarang (12/01) — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf, meresmikan perpustakaan Ahmad Yasin Asy’ari (AYA), AYA Reading Collection, di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah.

Pembangunan perpustakaan tersebut merupakan hasil advokasi pihaknya dengan Kementerian Agama melalui program bantuan pengadaan sarana prasarana Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) senilai Rp100 juta.

Nama perpustakaan tersebut diambil dari nama salah satu perintis Fakultas Agama Islam (FAI) Unissula, Ahmad Yasin Asy’ari.

Selain dikenang sebagai perintis, mendiang Ahmad Yasin diketahui memiliki kegemaran untuk mengoleksi kitab tradisional dan kontemporer berbahasa Arab.

Semasa hidupnya, dirinya pernah mengemukakan keinginannya untuk membangun Sentra Literatur Kitab (Turats) di FAI Unissula agar dapat berfungsi sebagai pusat studi untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan agama.

Selain Bukhori, turut hadir dalam acara peresmian perpustakaan tersebut diantaranya Rektor Unissula, Bedjo Santoso, Ketua Pendidikan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA) Tjuk Subchan Sulchan, Dekan FAI, Muhtar Arifin, serta segenap pimpinan rektorat, dekanat, dan tenaga pendidik di lingkungan Unissula, Senin (10/01/2022).

Dalam acara peresmian itu, Bukhori menyampaikan kuliah umum tentang ‘Urgensi Pengembangan Hukum Progresif di Indonesia’ bagi civitas academica Unissula. Di awal pemaparan, dia menjelaskan, tujuan dibentuknya hukum adalah untuk kemanfaatan, kepastian, dan keadilan.

“Hukum tidak bisa dimaknai secara telanjang, ia mesti dikorelasikan dengan situasi sosial agar dapat terwujud formula hukum yang bermanfaat. Sementara terkait tujuan kemanfaatan, hukum itu harus bermanfaat, applicable, dan tidak membuat masyarakat justru menentangnya. Kedua, tujuan hukum mesti memberikan kepastian dan yang ketiga harus memenuhi rasa keadilan,” jelasnya.

Anggota Badan Legislasi DPR itu melanjutkan, dalam diskursus hukum Islam, yang termasuk perbuatan yang dikenai objek hukum antara lain tindakan fisik, perkataan, dan niat. Konsep ini kemudian diadopsi oleh hukum positif di Indonesia.

“Sehingga dapat kita pahami apabila KPK melakukan OTT, baik terduga penyuap maupun yang menerima suap bisa langsung dijerat hukum. Walaupun mereka ditangkap sebelum terjadi transaksi, namun niat mereka sudah termasuk Mens Rea (niat jahat). Artinya, hukum Islam itu begitu kaya dan mampu menjawab peristiwa hukum yang dinamis,” ucapnya.

Anggota Komisi VIII DPR itu juga mengkritik kinerja penegakan hukum belakangan ini.

“Secara khusus, saya menyoroti kinerja penegak hukum yang dinilai tidak memiliki ‘taste’ keadilan dan kehilangan kemampuan dalam berijtihad,” ungkapnya.

Bukhori lantas menyandingkan hal itu dengan model penegakan hukum oleh Khalifah Umar Ibn Khatab pada masa awal perkembangan Islam.

“Pengembangan hukum progresif perlu terus didorong kendati konsep Restorative Justice atau hukum yang dihasilkan melalui jalan damai tidak termaktub dalam teks hukum kita. Karena itu, untuk mengembangkan wacana itu perlu kemampuan ijtihad dari para penegak hukum. Mereka mesti memiliki ‘taste’, menyatu dengan kebenaran, kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Sebab jika tidak memiliki itu, rasanya sulit kita merasakan tujuan hukum itu,” ucapnya.

Para penegak hukum, demikian Bukhori melanjutkan, mungkin bisa belajar dari ijtihad yang dilakukan oleh Khalifah Umar ketika didatangi oleh dua warganya, dimana salah satunya kedapatan mencuri. Ketika khalifah itu meminta keterangan pelaku, didapati bahwa motif pelaku melakukan perbuatan mencuri didasari oleh kondisi paceklik di daerahnya, ditambah risiko kematian akibat rasa lapar yang dideranya dan objek yang dicuri tidak lebih untuk kebutuhan dirinya seorang, bebernya.

“Lantas apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar? Dia justru menyatakan pencuri tersebut tidak bersalah. Bahkan sebelum membebaskan pelaku, dia memberikan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan hidup pelaku. Apa sebabnya? Khalifah Umar mengerti latar belakang sosiologis yang mendasari perbuatan si pelaku, walaupun dalam kaidah fiqih disebut mencuri. Akan tetapi melalui ijtihadnya, Umar menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku adalah untuk mencapai Maslahat Kubra, yakni Hifzun Nafs (menjaga jiwa),” terangnya.

Diakhir pemaparannya, Bukhori berharap perpustakaan AYA mampu merealisasikan cita-cita mulia dari mendiang Ahmad Yasin Asy’ari sekaligus menjadi amal jariyah yang memuliakan kedudukannya di akhirat.

“Kitab-kitab yang beliau wakafkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di perpustakaan ini, begitupun manfaat yang diperoleh dari pembaca akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi beliau. Dan dari beliau kita bisa belajar bahwa setinggi apapun cita-cita duniawi kita, pastikan ia berorientasi pada manfaat yang berkelanjutan. Agar apa yang kita wariskan, kelak menyelamatkan kita di akhirat”, pungkasnya.