Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Redaksi: Infrastruktur Yang Terukur

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Tak ada yang memungkiri pembangunan infrastruktur, membutuhkan investasi jangka panjang dengan nilai besar, untuk tak dibilang fantastis. Karena investasi yang besar itu pula, segala sesuatunya harus direncanakan dengan matang. Termasuk risiko, kepastian pengembalian investasi, dan potensi keuntungan yang berkelanjutan.

Tidak bisa dipungkiri salah satu program politik yang paling mudah untuk mendapatkan simpati dan elektabilitas adalah infrastruktur. Bukan hanya bisa diukur tapi juga terlihat nyata. Tegak berdiri, kokoh tertancap.

Karenanya tidak jarang para pemimpin menciptakan mega proyek agar dijadikan etalase peninggalan dan ‘jejak’ kekuasaan untuk meraih jabatan yang lain. Dikemas dan dipoles dengan pendekatan Pesan yang menarik, dipublikasikan di berbagai channel dan diterima oleh publik secara massif.

Tapi infrastruktur juga punya catatan sejarah yang kurang melegakan, terlebih di negara ini. Ada venue, bandara udara, jalan, jembatan, dan lainnya cukup banyak terbengkalai dan fungsinya tidak maksimal. Hal ini terjadi karena tidak cermat kalkulasi investasi atau proses feasibility studies (FS) tidak memadai. Dari sejumlah indikator yang perlu dipenuhi sangat mungkin tidak terpenuhi dan punya kesalahan mendasar, tapi syahwat politik kadung sudah menggantung.

Ambil contoh kereta cepat Jakarta-Bandung yang ramai belakangan ini. Proyek yang disetujui pada 2015 ini dikerjakan oleh konsorsium PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia Cina) secara business to business. Pemerintah bahkan menjamin bahwa pembiayaan proyek ini tidak akan dibiayai oleh negara. Masyarakat boleh bernafas lega, meski infrastruktur transportasi kereta cepat untuk menghubungkan daerah di Pulau Jawa yang sudah begitu terkoneksi sebenarnya menyisakan pertanyaan. Memang seberapa urgen, sih, menghubungkan dua kota besar berjarak 150 kilometer dengan kereta cepat ketika masih ada opsi pesawat, kereta api, travel, dan mobil pribadi?

Belum lagi, mega proyek tersebut mengalami pembengkakan biaya hingga Rp27,74 triliun. Kemudian, Oktober 2021 lalu, Jokowi malah mengeluarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 dalam rangka percepatan pembangunan kereta cepat. Isinya tidak main-main; proyek yang kini bernilai Rp112,24 triliun ini bisa didanai APBN.

Pembangunan sejatinya adalah kebutuhan publik, bukan kepentingan politik. Kenyataannya, proyek-proyek ambisius ini tampaknya sekadar menjadi sarana pendongkrak elektabilitas di pesta demokrasi mendatang. Perencanaannya bak dikejar tayang, pelaksanaannya kurang terencana, dan rakyat lah yang menanggung akibatnya.

Penggelontoran dana yang semestinya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat kini dicomot untuk menambal kecacatan proyek yang ada. Rakyat tidak meminta, tapi harus membayar. Pembangunan yang seharusnya memudahkan, malah menyulitkan.