
Jakarta (08/07) — Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mengkritik pihak-pihak yang ingin menjerumuskan Presiden Joko Widodo dengan usulan dekrit memperpanjang masa jabatannya sendiri dengan alasan darurat pandemi Covid-19.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) untuk memperingati dekrit presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 pada Senin (05/07/2021).
HNW sapaan akrabnya mengutarakan bahwa dekrit merupakan tindakan inkonstitusional yang dilakukan karena negara dalam kondisi darurat, suatu hal yang seharusnya dihindari oleh setiap kepala negara.
Apalagi, lanjut HNW, covid-19 adalah pandemi yang juga melanda AS, New Zealand, Iran dll, tapi tidak ada negara manapun yang menunggangi covid-19 untuk kepentingan kekuasaan politik jangka pendek seperti untuk lahirkan dekrit perpanjangan masa jabatan Presiden, yang padahal gagal mengatasi covid-19. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, setidaknya ada dua kali dekrit disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia.
“Pertama, dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 dan Presiden Gus Dur pada 23 Juli 2021,” ujarnya.
Dekrit yang dilakukan oleh Presiden Soekarno yang membubarkan dewan konstituante dan menyatakan kembali ke UUD NRI 1945 bisa dilaksanakan, walau sempat ada berbagai penolakan. Sedangkan, dekrit atau maklumat yang diterbitkan oleh Presiden Gus Dur yang diantaranya membekukan DPR dan MPR tidak berhasil dijalankan, dan bahkan mengakibatkan Presiden Gus Dur lengser dari jabatannya lebih awal.
“Dengan usulan dekrit kepada Presiden Joko Widodo, kita tentu tidak ingin terulang kejadian dekrit Bung Karno yang setelah dekrit malah memberangus kehidupan demokrasi dan membubarkan Partai Politik, kita tentu juga tidak ingin terulang yang terjadi terhadap Presiden Gus Dur, yang kala itu juga dibisiki oleh sekitarnya untuk mengeluarkan dekrit, yang malah berdampak negatif pada Gus Dur. Dan wacana dekrit untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi itu, tentu juga malah memecah fokus dan dapat menghadirkan kegaduhan baru di tengah pandemi Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan, dan yang mestinya kita hadapi secara kompak dan bersama-sama,” ujarnya.
HNW menegaskan bahwa dekrit Presiden, apalagi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden, sudah tidak relevan lagi dilakukan di era sekarang, dimana ketentuan UUD NRI 1945 sangat jelas dan tegas, serta demokrasi sudah semakin tumbuh, dan kesadaran masyarakat terhadap demokrasi semakin meningkat.
“Ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, Indonesia baru beberapa tahun merdeka dan republik ini masih relatif muda. Namun kemudian, dengan pengalaman berdemokrasi dan menghidupi konstitusi secara matang, kita Bangsa Indonesia saat ini sudah meyakini bahwa cara-cara inkonstitusional dengan dalih dekrit semacam itu tidak bisa dilakukan di era Reformasi seperti saat ini, apalagi dengan adanya ketentuan pasal 6A, pasal 7, 22E dan pasal 37 yang sangat jelas dan tegas mengatur soal-soal itu” ujarnya.
Meski begitu, HNW mengatakan bangsa ini juga perlu mengambil hikmah dan pelajaran dari dekrit yang disampaikan oleh Presiden Soekarno. Di dalam dekrit tersebut, Presiden Soekarno menghidupkan dan mengakui konstitusionalnya Piagam Jakarta, bahkan Bung Karno menyebutkan dengan tegas bahwa beliau meyakini Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, menjiwai UUD NRI 1945 dan merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan dari UUD 45 itu.
“Ini menunjukan bahwa ketentuan-ketentuan dalam 4 alinea dari Piagam Jakarta (yang pada tgl 18/8/1945 disebut sebagai Pembukaan UUD 45) adalah konstitusional, termasuk pembelaan terhadap kemerdekaan (Palestina) dan penolakan terhadap penjajahan (Israel) sebagaimana dinyatakan pada alinea ke empat dan pertama,” ungkapnya.
Juga bahwa dengan dekrit 05/09/1959 itu ditolaklah pendikotomian antara nasionalisme dan ke-Islaman, karena Piagam Jakarta yang disahkan hasilnya oleh BPUPKI pada sidang keduanya 10-14 Juli 1945 adalah kompromi yang legal konstitusional antara tokoh-tokoh nasionalis kebangsaan dengan tokoh-tokoh nasionalis keagamaan baik Islam maupun Kristen. Juga pentingnya menerima Pancasila yang tidak mengenal pemerasan menjadi Trisila maupun Ekasila sebagaimana dalam rumusan yang disepakati oleh Panitia 9 menjadi Piagam Jakarta, yang difinalkan oleh PPKI pada (18/08/1945).
“Jadi, apabila kita memperingat dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka salah satu pelajaran yang harus kita ambil adalah hadirnya kenegarawanan dari Presiden Soekarno, dekritnya bukan untuk memperpanjang kekuasaannya sendiri, tetapi Proklamator dan Bapak Bangsa yang dikenal sebagai tokoh nasionalis itu, tidak phobia kepada Piagam Jakarta dan karenanya tidak mabuk anti Agama. Dan karenanya pula tidak mendikotomikan antara Negara dan Agama, antara Pancasila dan Al-Quran. Beliau menerima semuanya dalam harmoni untuk hadirkan solusi, Dekritnya Bung Karno untuk selamatkan Indonesia Raya. Itulah salah satu sebab mengapa waktu itu Dekrit 5 Juli bisa diterima dan diberlakukan. Dan itu pasti berbeda dengan manuver pewacanaan dekrit untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, yang ditolak itu,” pungkasnya.