Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Lonjakan Covid-19 dan Analisa Kebijakan Berfokus Bisnis

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Oleh : Dr. Kurniasih Mufidayati, M.Si (Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS)

Akhirnya kasus covid-19 di Indonesia kembali meledak dengan adanya lonjakan kasus dalam 2 pekan terakhir. Ledakan kasus ini ditandai dengan pecahnya rekor kasus harian terkonfirmasi positif pada Senin 21 Juni 2021 yang mencapai 14.536 kasus.

Jumlah ini lebih tinggi dari rekor kasus harian sebelumnya pada 30 Januari 2021 yang mencapai 14,518 kasus yang sering disebut sebagai puncak pandemi covid-19 di Indonesia. Disebut sebagai puncak pandemi covid-19 karena setelahnya jumlah kasus harian berangsur-angsur menurun.

Puncak pandemi saat itu banyak disebut sebagai dampak dari libur natal dan tahun baru dimana banyak warga masyarakat berpergian dan mengunjungi tempat wisata.

Gelombang Kedua Covid-19 Tanpa Antisipasi ?

Tren peningkatan kasus covid-19 di Indonesia pada bulan Juni ini bahkan melebihi apa terjadi pada bulan Januari-Februari lalu. Rata-rata kasus harian dalam seminggu terakhir mencapai 12.128 kasus.

Pergerakannya juga begitu cepat karena seminggu sebelumnya, rata-rata harian kasus dalam sepekan masih mencapai 8,444. Namun dalam selang 3 hari kemudian rata-rata kasus harian dalam sepekan sudah menembus angka 10 ribu dan akhirnya tembus 12 ribu pada 21 Juni ini dengan rekor kasus harian 14536 kasus

Tanda-tanda lonjakan kembali kasus covid-19 di Indonesia setelah sempat melandai di bulan Maret dan April sebetulnya sudah mulai terlihat di paruh kedua bulan Mei.

Para ahli pun sudah memprediksi bahwa periode libur Lebaran berpotensi meningkatkan kembali kasus covid-19 di Indonesia jika tidak diikuti kebijakan pengetatan sejak dini dan pembatasan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan kontak fisik.

Apalagi pada yang saat sama beberapa varian dari mutasi virus SARS Cov-2 ini seperti dari Inggris (B.117), Afrika Selatan (B.1351) dan India (B.1617 atau Delta) juga mulai masuk ke Indonesia.

Varian ini khususnya yang berasal dari India disinyalir memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dan telah menyebabkan ledakan kasus covid-19 di India dan menjadikan tragedi kemanusiaan dengan jumlah kasus harian mencapai 300 ribuan dan kematian harian mencapai 6000 an

Meskipun varian baru covid-19 diketahui telah masuk ke Indonesia dan diumumkan resmi oleh Kementerian Kesehatan pada 4 Mei 2021, namun tidak ada langkah signifikan untuk meningkatkan pencegahan penyebaran varian baru ini.

Tidak ada pembatasan yang ketat terhadap kedatangan dari luar negeri khususnya India. Banyak pendatang asal negara tersebut yang masih berdatangan masuk ke Indonesia untuk bekerja di berbagai sektor, bahkan ketika sedang berlangsung ledakan kasus di India.

Sementara kebijakan karantina di Indonesia bagi pendatang dari luar negeri tergolong ‘longgar’ karena hanya mewajibkan karantina selama 5 hari. Itu pun sebagian dimanipulasi oleh oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Sementara banyak negara mewajibkan karantina selama 14 hari meskipun hasil swab PCR nya negatif, bahkan menutup kedatangan dari beberapa negara tertentu seperti yang dilakukan Singapura dan Malaysia.

Kebijakan pemerintah yang tidak cukup tegas menjadi salah satu penyebab meledaknya kembali covid-19 di Indonesia. Para ahli sudah memperingatkan potensi peningkatan kasus akibat mobilitas masyarakat saat libur Lebaran, belajar dari kenaikan kasus pasca libur natal dan tahun baru.

Pemerintah memang membuat kebijakan laragan mudik, namun membolehkan mobilitas untuk berwisata. Kebijakan yang rencu ini menyebabkan mobilitas masayarakat tetap cukup tinggi baik untuk berwisata, berlibur maupun pulang kampung dengan dalih berwisata.

Apalagi sebagian sudah mulai jenuh akibat pandemi yang sudah lebih setahun. Banyak tempat wisata dipadati pengunjung dan masyarakat yang berpergian secara rombongan.

Tidak adanya kebijakan tegas juga membuat banyak warga masyarakat mengadakan kegiatan yang menimbulkan kerumunan seperti acara kumpul warga dalam rangka lebaran, reuni dan sejenisnya.

Kebijakan PPKM terbukti tidak efektif dalam mencegah masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan yang kemudian menimbulkan penularan, termasuk dari aktivitas di tempat bekerja.

Kebijakan Pemerintah yang _Business as Usual_

Tren peningkatan kasus baru covid-19 yang semakin tinggi tidak cukup baik diantisipasi oleh pemerintah. Bahkan ketika angka harian kasus baru covid sudah tembus 7000 pada 9 Juni 2021 atau sudah dua kali lipat dari kasus harian pada bulan April, masih belum ada tindakan antisipasi yang cukup kuat dalam bentuk kebijakan pengetatan pembatasan yang drastis.

Di bidang pendidikan, pemerintah malah mewacanakan untuk pembelajaran tatap muka. Tidak ada ada upaya untuk melakukan pembatasan mobilitas dan kegiatan masyarakat yang signifikan.

Pemerintah masih mempertahankan kebijakan PPKM yang sudah diterapkan sejak 9 Februari dengan melakukan pengetatan hanya pada daerah tertentu saja sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Dalam prakteknya, PPKM yang cenderung longgar ini tidak cukup berhassil mengerem peningkatan laju aktivitas masyarakat. Bahkan ketika angka kenaikan kasus harian menunjukkan peningkatan yang signifikan dari hari ke hari dan semakin banyak ditemukannya kasus dari varian delta asal India, belum ditetapkan kebijakan pembatasan yang radikal. Kebijakan PPKM kurang cukup ketat dalam konsep pembatasan dan juga lemah dieksekusi

PPKM yang diterapkan pemerintah sampai dengan 20 Juni 2021 memang tidak terlalu memberikan pembatasan yang ketat. Apalagi kriteria zona merah yang ditetapkan dalam PPKM cukup sulit terpenuhi.

Dalam kebijakan PPKM Mikro, suatu daerah dikatakan zona merah jika ada 10 rumah dalam satu RT yang terkonfirmasi covid-19. Kegiatan di tempat bekerja juga masih dibolehkan sampai 50% kapasitas. Demikian juga dengan tempat makan dan tempat hiburan.

Tempat wisata dan hiburan masih dibolehkan dengan kapasitas sampai 50%. Jam operasional pusat perbelanjaan juga masih lebih panjang dibandingkan pembatasan dalam kebijakan PSBB.

Pemerintah masih bertahan dengan kebijakan ini bahkan ketika angka kasus harian sudah mencapai lebih dari 10 ribu. Akibatnya daerah-daerah yang ingin melakukan pembatasan secara ketat karena tingginya kasus pada daerah tersebut seperti DKI Jakarta, Jogjakarta tidak dapat melakukannya karena pemerintah pusat masih menerapkan kebijakan PPKM.

Bertahannya pemerintah dengan kebijakan PPKM ini menandakan pemerintah masih memberikan penekanan pada ekonomi yang cukup tinggi dibanding aspek kesehatan.

Tuntutan untuk melakukan lockdown pada beberapa kota dengan tingkat penularan tinggi mengalami jalan buntu karena belum berubahnya kebijakan pembatasan yang dibuat pemerintah.

Pembatasan yang lebih ketat hanya bisa dilakukan jika kebijakan yang dibuat pemerintah adalah PSBB dan daerah bisa menyesuaikan kebijakan PSBB tersebut dengan membuat pengetatan dengan persetujuan pemerintah.

Setelah tuntutan untuk melakukan lockdown semakin tinggi, dan kapasitas ketersediaan tempat tidur untuk pasien covid-19 semakin terbatas, baru pada 21 Juni 2021 sore pemerintah memutuskan melakukan pengetatan namun masih menggunakan kebijakan PPKM dalam bentuk Penebalan PPKM Mikro.

Pengetatan melalui penebalan PPKM mikro ini dilakukan dalam bentuk semakin membatasi kegiatan dan kapasitas penggunaan. Berbagai kegiatan yang sebelumnya masih boleh sampai 50% menjadi dikurangi tinggal 25% dan dilarang total pada daerah dengan status zona merah.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana pemerintah pusat dan daerah bisa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penebalan PPKM Mikro ini. Sekali lagi ini masalah kemampuan eksekusi kebijakan.

Antisipasi Lonjakan Pasien

Permasalahan berikutnya dari ledakan kembali kasus covid-19 di Indonesia adalah antisipasi terhadap lonjakan pasien dan pemenuhan kebutuhannya. Tren peningkatan jumlah kasus harian covid-19 di Indonesia dalam kenyataannya diikuti oleh peningkatan keterisian tempat tidur bagi pasien.

Ruang-ruang rawat rumah sakit rujukan, RSUD maupun rumah sakit darurat Wisma Atlet menunjukkan tingkat keterisian yang mencapai sekitar 80%, bahkan ada yang 90%. Di RSDC Wisma Atlet misalnya, setiap tower yang dibuka kembali untuk perawatan pasien dengan gejala sedang dan ringan, langsung dipenuhi pasien covid-19.

Kebijakan menyerahkan kepada daerah untuk isolasi dan perawatan pasien dengan gejala ringan dan sedang membuat pemerintah daerah juga kesulitan dalam menangani lonjakan pasien covid-19 ini. Bahkan hampir seluruh ruang IGD di RSUD dipenuhi pasien dan menjadi ruang perawatan karena ruang perawatan untuk pasien yang sudah penuh.

Pemerintah perlu menerapkan kembali kebijakan 40% kapasitas tempat tidur di RS Swasta diperuntukan bagi pasien covid-19. Pada daerah-daerah dengan lonjakan kasus tinggi, bahkan perlu diperbesar sampai 50% kapasitas tempat tidur untuk pasien covid-19.

Pada saat yang sama, perlu dilalukan klasifikasi lebih jelas sehingga pasien dengan gejala ringan dan sedang bisa dilakukan isolasi di tempat-tempat khusus yang layak seperti bangunan milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang memiliki tempat tidur (pusat-pusat pelatihan, asrama, termasuk rumah susun yang belum digunakan) yang didukung dengan fasilitas dan tenaga medis yang memadai.

Sehingga kamar perawatan di RS bisa difokuskan untuk pasien covid-19 dengan gejala sedang mengarah ke berat dan gejala berat

Hal yang tidak boleh dilupakan adalah ketersediaan obat-obatan yang dibutuhkan, ventilator dan alat bantu pernafasan lain serta oksigen untuk pasien yang membutuhkian. Saya mendapat informasi bahwa beberapa jenis obat khususnya untuk anti virus dan anti peradangan sudah mulai habis di beberapa RS, bahkan yang tergolong RS besar dan rujukan.

Pemerintah juga perlu terbuka untuk opsi melakukan treatment medis tertentu berbasis hasil riset untuk mencegah perluasan peradangan akibat serangan virus SARS Cov-2 ini.

Jangan sampai kita mengalami seperti India yang terlambat melakukan antisipasi yang menyebabkan penularan tidak terkendali dan fatality rate yang tinggi. Semua peringatan dari para ahli harus mendapat perhatian serius. Jangan lagi business as usual dalam situasi genting ini.