Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Redaksi : Menguji Konsistensi Ucapan dan Perbuatan Dalam Bernegara

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Bukan pertama kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sarat kontroversi dan inkonsistensi. Tidak perlu bicara yang lalu-lalu, cukup apa yang ada di pandangan kita saat ini saja. Betapa mahal harga sebuah konsistensi dihamparan kerja-kerja kenegaraan. Rumitnya keruwetan ini terjadi di semua level dan posisi, sengkarut masalah yang berpotensi menjadi bom waktu yang sangat dahsyat.

Pemerintah awalnya gaungkan gerakan “benci Impor”, tak perlu lama dan berganti pekan keluar legalisasi importasi garam dan beras. Padahal saat ini sedang bersiap memasuki masa panen dan persediaan melimpah ruah di gudang. Tidak hanya itu, dalam soal penanganan pageblug berbagai jenis pengetatan retak ditengah jalan karena kebijakan yang dibuat lemah dalam penegakan dan cenderung mendorong kerumunan.

Juga frasa Agama yang sempat dihilangkan dari Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035. Padahal pendidikan agama memberikan kontribusi luar biasa dalam sistem pendidikan selama ini. Ada pula terkait lampiran Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan minuman keras. Mabuk investasi, terseok-seok di lembaran negara karena basis argumentasinya lemah dan membahayakan. Jika hendak dirunut banyak yang menjadi catatan.

Maka saat ada wacana Presiden tiga periode, meski sudah dibantah oleh empunya. Kita masih merasa khawatir, karena wacana ini menyeruak membengkak, kerusakan lingkungan yang semakin parah, pengangguran dan angka kemiskinan kian meningkat. Rasanya ganjil meminta sesuatu yang rumit, ditengah prestasi yang tidak istimewa.

Demokrasi dan reformasi yang kita perjuangkan sungguh sedang dalam ancaman. Sungguh jika benar wacana itu terjadi, kita akan sangat mundur kebelakang (set back) dalam menempuh jalan demokrasi ini. Wacana presiden melebih masa sungguhlah terjadi disetiap era kepemimpinan. Namun wacana itu terhenti dengan sendirinya karena sifat kenegarawanan Presiden itu sendiri, yang memahami esensi demokrasi dan rotasi kepemimpinan bangsa. Tidak mudah terbuai puja dan puji demi melanggengkan ego pribadi.

Jangan mudah lelah mengawal kebijakan negara, bukan tidak percaya atau menaruh curiga. Karena ujian kecermatan kita sepanjang lintasan satu dekade ini untuk kesekian kali dipertaruhkan. Waktu yang akan memberikan penjelasan. Wajar kita khawatir, karena bukan sekali-dua kali “public policy prank” model ini kerap kali dilakukan. Satu waktu bilang tidak, lain waktu ucapkan iya. Bilang iya, kemudian tidak. Jadi kebiasaan dan habitual tanpa beban.

Setelah reaksi publik memuncak, respon Pemerintah berubah dan menegaskan bahwa laku lampah itu salah. Entahlah jika publik tidak cermat dan rijit mengawasi kerja Pemerintah.