
Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengalami kontraksi sangat luar biasa, aturan yang pada awalnya digagas untuk memberikan keamanan masyarakat dari kejahatan transaksi elektronik.
Namun dalam perjalanannya seperti kehilangan arah dan tujuan awal, karena lebih banyak digunakan untuk menjerat kebebasan berpendapat (freedom of speech) dan berekspresi (freedom of expression).
Sebagaimana kita sadari bahwa demokrasi Indonesia saat ini bukan hanya terjadi pada ruang prosedural dan administratif seperti pemilu. Namun sejatinya lebih banyak bergumul dan bermuara pada diskusi publik (discourse). Ironisnya public sphere yang sehat tidak pernah bisa terbentuk secara utuh karena ditumbuhkembangkan para komprador pesan yang tugasnya merusak harmoni, melakukan agitasi, doxing, character assassination hingga delegitimasi. Nama-nama yang tidak pernah ada dalam jurnal internasional, buku teks, seminar adiluhung atau mimbar akademik mendadak menjadi rujukan banyak orang. Dibicarakan publik, pemangku kepentingan, dan pengambil kebijakan. Para komprador pesan yang ‘berdebu dan ampas kopi’ menjadi panglima mengelabui para cerdik cendikia. Sosok dan akun yang tidak jelas asal usulnya yang akhirnya menjadi coreng muka satu negara.
Baca juga: Soal Revisi UU ITE, HNW: Jangan hanya Wacana, Pemerintah Segera Usulkan Inisiatif Perubahan
Berulangkali otoritas menyampaikan bahwa para komprador pesan bukan bagian dari mereka, namun untuk kesekian kali nampak bergandengan tangan dalam pose dan rupa. Percayalah “sebuah gambar bernilai seribu kata” (Picture is worth a thousand words), berulang kali menyangkal sungguh tidak bisa mengabaikan jejak digital.
Public sphere yang dikehendaki Habermas tidak pernah bisa terwujud. Sebuah areal atau tempat dimana suatu masyarakat atau komunitas dapat berkumpul untuk meraih tujuan yang sama, sharing baik permasalahan pribadi maupun kelompok. Areal ini dapat berupa ruang dalam dunia nyata ataupun dunia maya.
Dalam naskah akademik UU ITE sesungguhnya lebih banyak menitikberatkan kepada transaksi elektronik, bukan pada cara orang berekspresi dan berbicara. Apalagi sekedar kritik, saran dan masukan yang berbeda untuk para penyelenggara negara.
Baca juga: UU ITE Akan Direvisi, Legislator PKS : Setuju!
UU ITE mendorong regulasi untuk mengatasi pelanggaran hukum dalam transaksi perdagangan elektronik dan perbuatan hukum di dunia maya lainnya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat tindakan carding, hacking, cracking, phising, booting, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian, penipuan, terorisme, penyebaran informasi destruktif (cara pembuatan dan penggunaan bom) telah menjadi bagian dari aktivitas perbuatan pelaku kejahatan internet dan Information and Communication Techonology (ICT). Bukan mencari-cari orang yang dianggap radikal, tanpa ukuran dan indikator yang tidak masuk akal.
Kita sadar bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh hak orang lain, sebagaimana dalam hal yang sama memikul kewajiban yang serupa. equality before the law meminta setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Namun akhir-akhir ini terasa ‘mendidih’ dan ‘membeku’ disaat yang bersamaan. hukum nampak memuai saat berhadapan dengan pendengung yang pro otoritas, namun mengkristal saat suara parau hadir dari seberang jalan.
Baca juga: Kalau Pemerintah Serius, Maka Usulan Perubahan RUU ITE Lebih Bagus Berasal dari Pemerintah
UU ITE sebetulnya memiliki tujuan yang mulia yakni memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya. selaras dengan itu menjaga ruang digital bersih dan beretika namun dalam implementasinya malah lebih kental dengan nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transaksi ekonomi-bisnisnya. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang mengatur soal pencemaran nama baik telah menjadi pasal karet dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat sehingga banyak orang yang dilaporkan, ditangkap, dan ditahan karena menyampaikan pendapat di internet.
Kabar baik datang dari Pemerintah yang hendak merevisi UU ITE. Sebuah inisiatif dari eksekutif yang sangat memungkinkan dilakukan oleh konsititusi. Namun lagi-lagi kita akan menunggu konsistensi antara pesan dan kenyataan. ini ujian kita, aku dan kamu.