
Jakarta (16/02) — Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mendukung rencana revisi UU ITE karena adanya sejumlah pasal yang dijadikan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (UU ITE), yang dirasakan oleh publik sebagai penyebab terjadinya ketidakadilan hukum, dan mengingatkan agar pemerintah serius merealisasikan wacana yang sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi.
“Hal ini perlu diakukan agar keadilan hukum bisa dilaksanakan serta kebebasan berpendapat bagi Rakyat tetap terjamin, terutama untuk melontarkan kritikan yang diminta sendiri oleh pemerintah, karena hak-hak itu semuanya juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ungkap Hidayat.
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang kemudian diubah sebagian dengan UU No. 19 Tahun 2016 awalnya dibuat dengan niat dan tujuan yang sangat baik, sesuai dengan namanya terutama dalam mengatur transaksi elektronik dan kepastian hukum cyber.
Namun sayang, imbuh HNW, dalam implementasinya beberapa tahun belakangan ini, sejumlah pasal menjadi aturan yang dikaretkan dan disalahartikan oleh oknum-oknum aparat, sehingga bisa dipakai untuk menjerat hanya mereka yang kritis, mengkritik pemerintah, atau pihak-pihak di luar Pemerintah yang tak disukai oleh Pemerintah.
“Dalam tataran implementasi, justru sejumlah ketentuan dalam UU ITE dijadikan alat untuk mudah melaporkan pihak-pihak lain ke Polisi, atau mengkriminalisasi para Ulama atau aktivis yang bukan dari kubu pemerintah, atau yang dikenal kritis sekalipun dengan maksud memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (16/02).
HNW menuturkan bahwa sikap Presiden Joko Widodo yang akan merevisi UU ITE ini, agar rakyat tidak takut mengeluarkan kritik, juga agar Rakyat terhindar dari ketidakadilan hukum, patut diapresiasi.
Tapi perlu dibuktikan dengan Presiden Jokowi mempercepat proses revisi ini, yang sesuai UUD bisa dimulai dari inisiatif pemerintah, pihak yang memang juga memiliki kewenangan legislasi bersama DPR.
“Yang perlu ditegaskan adalah kewenangan inisiasi legislasi, termasuk merevisi UU, itu bisa dilakukan oleh DPR atau juga oleh Pemerintah,” ujarnya.
Jadi, lanjut HNW, kalau Presiden Jokowi serius, mestinya Presiden tidak melempar bola ke DPR untuk merevisinya, tetapi seharusnya Presiden mempergunakan kewenangan konstitusionalnya dengan segera memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk segera mengajukan inisiatif Pemerintah mengusulkan revisi UU ITE itu.
“Dalam waktu bersamaan Presiden perlu mengumpulkan pimpinan partai-partai pendukung Pemerintah agar fraksi-fraksi pendukung pemerintah di DPR menyukseskan inisiatif Pemerintah, merevisi UU ITE itu. Kalau fraksi-fraksi di luar pemerintah saja (FPKS dan FPD) sudah nyatakan setuju dengan usulan revisi UU ITE, maka tentunya Fraksi-Fraksi pendukung Pemerintah, sebagaimana biasanya, akan juga mendukungnya,” jelas HNW.
HNW mengaku telah menyuarakan hal ini sejak lama.
“Saya secara pribadi dan banyak pihak juga sudah berulangkali mengusulkan agar pasal karet dalam UU ITE ini segera direvisi, karena implementasi di lapangannya seringkali hadirkan hukum yang tidak adil, dan mengancam kebebasan rakyat untuk merdeka menyampaikan pendapat,” tukasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menuturkan bahwa kebebasan berpendapat – termasuk menyampaikan kritik kepada pemerintah – merupakan hak yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945.
“Ini juga sejalan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam Pasal 28 UUD NRI yang sudah ada sejak republik ini berdiri,” jelasnya.
HNW menambahkan revisi UU ITE ini sudah sangat urgen, karena para pembantu Presiden Jokowi, seperti Menkopolhukam Prof Mahfud MD dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah mengakui adanya potensi ancaman kriminaliasi dalam UU ITE, terutama beberapa ketentuan yang bersifat pasal karet, seperto dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 UU ITE.
“Ini harus segera ditindaklanjuti secara serius oleh Pemerintah, jangan PHP saja”ujarnya.
Anggota DPR RI dari Dapil Jakarta II ini yakin bila pemerintah benar-benar serius, maka proses revisi tidak akan memakan waktu yang lama.
“Asal political will pemerintah benar-benar jujur dan serius, maka ini akan bisa berlangsung cepat. Sebagai perbandingan, Perppu No 1/2020 dan UU Omnibus Law Ciptaker yang ditolak oleh FPKS dan FPD, bisa dikebut pembahasannya dan ‘dipercepat’ pengambilan keputusannya, maka kini sikap politik FPKS dan FPD justru sudah menyatakan dukungan mereka untuk revisi UU ITE, maka wajarnya revisi UU ITE ini bisa dilakukan dg cepat, penuh amanat, dan sesuai harapan Rakyat,” jelasnya.
“Dengan peta politik di DPR seperti itu, seharusnya revisi UU ITE mudah dilakukan dan cepat bisa diputuskan, apabila pihak Presiden Jokowi (Pemerintah) benar-benar serius inginkan revisi UU ITE, dan tidak sedang bermanuver politik, yang membenarkan kecurigaan bahwa kegaduhan ini semua hanyalah manuver untuk pengalihan issu, yang bisa makin membuat Rakyat tidak percaya dengan pernyataan dan janji Pemerintah” pungkasnya.