Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Redaksi: Mengelola Negara Jangan Caper, Baper dan Buzzer

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Untuk mendapatkan panorama terbaik seringkali harus melalui jalan terjal dan berliku. Sesekali ada luka, lelah dan sesal. Tapi usaha itu akan terbayar dengan kepuasan dan apresiasi. Pun dalam mengelola negara, pastilah ada banyak masukan dan kritik sebagai cara menghadirkan kebijakan terbaik. Namun jika diserap dengan sikap terbaik, maka bisa jadi energi luar biasa.

Baca juga : Catatan Redaksi: Pilkada Serentak Di Akhir Kabinet, Menjepit Nasib Bangsa

Mengelola negara tidak bisa sekedar mencari perhatian (caper) agar dapat diapresiasi dan dipuji, tapi juga harus siap dikritik. Minta dikritik, tapi tidak mau terusik. Mencari perhatian namun disaat bersamaan mendesak pihak lain. Sungguh cara-cara yang jauh dari nilai demokrasi. Ibarat orang pacaran ingin menang sendiri atau egois.

Baca juga : e-newsletter PKSPARLEMEN Edisi II Februari 2021 / No.6

Apalagi jika mengelola negara selalu membuat polemik, mencari perhatian publik dengan membuat kebijakan yang kontraproduktif. Seperti mendukung menghelat pemilu karena ingin melanggengkan family dan kerabat, namun enggan melaksanakan jika maksud dan tujuannya telah usai. Kemudian menunda UU yang sedang dibahas, padahal sudah masuk antrian. Atas nama rakyat tidak malu-malu berbalik badan dan mengatakan “kita tidak akan lanjutkan”.

Baca juga : Catatan Redaksi : Jangan Selalu Salahkan Masyarakat

Padahal sebagian besar yang menunda paham akan terjadi komplikasi berbahaya dari sebuah proses yang dipaksakan tersebut; kepemimpinan yang ringkih dalam waktu yang lama, ketidakpastian hukum, dan minimnya partisipasi publik. Dicari-cari alasan dari mulai wabah, hingga musibah. Padahal dalam waktu yang sangat singkat pernah mengebut pembahasan UU yang merubah hajat hidup orang banyak, lebih dari puluhan pasal dan ayat.

Minta di kritik, tapi gampang terbawa perasaan (Baper). Mudah tersinggung dan terenyuh dengan diri sendiri, namun kaku saat terkait pihak lain yang bersebrangan. Jangankan menerima ide, kehilangannya nyawapun bagi mereka yang berbeda dianggap peristiwa biasa. Perlu lebih dari satu hari menunjukan sikap. ironisnya tidak ada sesal, prihatin apalagi belasungkawa. Karena dianggapnya semua baik- baik saja.

Baca juga : Catatan Redaksi: Stop Buat Kebijakan Anomali Dimasa Pandemi

Menjadi pemimpin sesungguhnya menerima satu paket lengkap dari publik berupa caci-maki atau puja-puji. Pujian diharapkan memotivasi untuk berkerja melayani rakyat lebih baik lagi, sedangkan kritik mengingatkan agar tidak tersesat. Banyak pemimpin di dunia menghadapi kritik dari mulai karikatur, ungkapannya diplesetkan dan satir dirinya digambarkan. Dari mulai yang sifatnya fisik, hingga kebijakan. Namun sangat jarang ditemukan penangkapan atas dasar itu semua. Mereka menerima itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari mengambil tanggung jawab kepemimpinan. Toh pada akhirnya ‘serangan kampungan’ seperti itu dianggap tidak relevan. Jika kita mudah baper dalam mempimpin negara demokrasi, sungguh akan sangat tersiksa.

Kemampuan pemangku amanat untuk meyakinkan rakyat adalah salah satu “koentji” utama dalam mendapatkan kepercayaan. Namun dalam perkembangan terkini nampak kehilangan wibawa dan gagasan. Digunakan sejumlah orang berbayar untuk mengurusi cara bicara dan berkomunikasi. Secara sadar dianggarkan miliaran rupiah menggunakan dana, fasilitas dan perlindungan. Ada anggapan “kamu boleh kritik, tapi disergap” sedangkan para Buzzer “Boleh menghina, tapi didekap”.

Baca juga : Catatan Redaksi : Memutus Mata Rantai Bencana

Polarisasi yang dilembagakan, dikukuhkan dan direstui tentu tidak akan berguna menghadirkan demokrasi yang adiluhung. Hari-hari akan dilalui dengan penuh kesia-siaan dan ketidakpastian. Tentu kita tidak mau menjadi orang yang merugi karena membuang waktu dan melakukan tindakan yang tercela.