
Jakarta (10/02) — Fraksi PKS DPR RI Komisi VII menerima aspirasi terkait penyimpangan teknis dan strategis tentang pengelolaan listrik di Indonesia.
Dalam aspirasi tersebut, perwakilan Masyarakat Konsumen Listrik Indonesia (MKLI) mengadukan beberapa hal diantaranya mengenai listrik di Jawa dan Bali yang di swastakan, pelanggaran keputusan MK, serta subsidi dengan sistem TOP (take or pay).
Menanggapi aduan tersebut, anggota Komisi VII FPKS DPR RI Rofik Hananto menyatakan bahwa masalah kelistrikan di Indonesia masih menjadi salah satu hal yang harus dikhawatirkan.
Baca juga: Aleg PKS Minta PLN Jangan Unbundling Listrik, karena Bertentangan dengan Konstitusi
“Masalah kelistrikan ini khususnya kebijakan Multi Buyer and Multi Seller system (MBMS) ini memang menjadi salah satu yang kami khawatirkan, apalagi keputusan-keputusan yang sudah di batalkan MK kembali muncul di Undang-Undang.” Jawab Rofik dalam Hari Aspirasi, Selasa (9/2/2021).
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto juga turut menyinggung Keputusan MK khususnya Pasal 10 Ayat 2 dan Pasal 11 Ayat 1 UU Ketenagalistrikan. Menurutnya, terdapat dua klausa yang patut diperhatikan yaitu prinsip unbundling dan prinsip kekuasaan oleh negara.
“Pertanyaannya adalah apakah praktek kelistrikan yang sekarang ini bertentangan dengan prinsip unbundling dan prinsip yang dikuasai negara. Selama negara melakukan regulasi pengaturan, maka negara masih dominan menguasai. Di sisi unbundling, kami melihat selama swasta ini hanya suplemen ketika kita tidak mampu, maka itu masih dimungkinkan. Tapi ketika dia jadi dominan itu yang berbahaya. Jadi kita harus kaji dengan cermat lagi mengenai keputusan MK, makna dikuasai negara, dan bertentangan dengan UU secara bersyarat dengan dua syarat tadi.” Tegas Mulyanto.
Baca juga: Wakil Ketua FPKS Minta Pemerintah Hapus Ketimpangan Listrik Nasional
Mulyanto juga mengatakan akan terus mengawasi renegosiasi terkait sistem TOP yang terbilang tidak sehat ini, melihat demand listrik di tengah pandemi Covid-19 terus menurun sehingga menyebabkan PLN mengalami kerugian.
“Dirut PLN menyampaikan bahwa mereka tengah melakukan negoisasi terkait TOP, dan masalah 35.000 MW dan 75.000 MW itu sedang di reschedule agar disesuaikan dengan demand listrik yang ada. Saya rasa itu sudah bagus dan akan kita kejar terus masalah TOP ini.” Jelas Mulyanto.
Mulyanto menegaskan bahwa pengawalan akan terus dilakukan demi pengelolaan PLN yang lebih baik.
“Kami berjuang pada garis yang sama. Kita selalu berada membela mesyarakat terutama masyarakat kecil agar mereka bisa hidup sejahtera dan agar negara dalam hal ini juga kuat mengelola PLN dengan sangat baik. Jangan sampai banyak utang seperti sekarang.” Tutup Mulyanto.