Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Redaksi: Pilkada Serentak Di Akhir Kabinet, Menjepit Nasib Bangsa

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Pemerintah enggan melakukan penyelenggaraan Pilkada pada tahun 2022 dan 2023. Padahal, semua fraksi di Komisi II DPR awalnya kompak mengusulkan Rancangan Undang-Undangan (RUU) Pemilu atas revisi UU Pemilu Nomor 7/2017 dan UU Pilkada Nomor 10/2016 sebagai inisiatif DPR.

Namun selepas Pemerintah menyatakan mendesak penyelenggaraan Pilkada serentak bersama Pilpres dan Pileg di tengah jalan sebagian pihak berbalik arah. Dalam hidup proses memutar (U turn) atau berbelok adalah lazim, namun menjadi janggal jika awalnya antusias kemudian menjadi malas.

Ada beragam rupa alasan Pemerintah menumpuk pemilu di 2024, diantara yang utama dalihnya karena menjalankan amanat UU dan fokus dalam penanganan covid 19. Mendadak tersadar adalah baik, namun jika semua ternyata karena motif yang ‘gelap gulita’ sungguh sejatinya mengkhianati rakyat.

Mengapa alasan ini terdengar nyaring setelah satu putaran Pilkada serentak tahun 2020 berlangsung dan penanganan covid amburadul dengan menuai sejumlah rekor; paling tinggi Se-Asia terpapar dengan tingkat mortality terbesar Se-Asean. Angka-angka pilu yang dicapai selama ini tidak pernah membuat tersadar pemangku kebijakan, darinya terbersit tata kelola pemerintahan yang sungguh memprihatinkan.

Mengapa alasan seperti ini tidak pernah muncul saat Pemerintah bersikeras mengebut pembahasan UU Cipta Kerja dalam waktu singkat, padahal menyangkut ribuan pasal dan jutaan hajat hidup. Terlebih dalam prosesnya berdampak protes dipelbagai daerah dan memakan korban jiwa. Buktinya jalan terus.

Mengapa kegelisahan ini tidak mengemuka saat Indonesia masuk ke dalam lima besar kematian tenaga medis dan kesehatan di seluruh dunia. Ada terlalu banyak pertanyaan dari seluruh gejala politik ini.

Sungguh tindakan politik simplistik dan penalaran melingkar seperti ini menyimpan bara yang berbahaya. Karena dibalut alasan mulia, namun meninggalkan sikap dan laku lampah yang alpa.

The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Laporan juga menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 memberikan dampak kepada demokrasi dan kebebasan di dunia.

Kepentingan revisi UU Pemilu yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu. Sejumlah isu strategis perlu dibahas antara lain ambang batas parlemen, ambang batas presiden, alokasi kursi, keserentakan pemilu, hingga perbaikan rekapitulasi yang lebih baik. Tak kalah penting desain pemilu yang mencegah keterbelahan seperti pengalaman pemilu 2019.

Penyelenggaraan Pilkada serentak dinormalisasi pada 2022 dan 2023, agar kepemimpinan daerah di masa pandemi tetap dipimpin oleh kepala daerah definitif. Terlebih, jika pilkada digelar pada 2024, beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.

Kita berharap lebih dari sistem demokrasi yang dijalani saat ini mampu menghadirkan kesejahteraan, meminimalisir konflik, adanya perlakuan yang sama dalam hukum dan Pemeritahan. Demokrasi tidak hanya mengharap suara rakyat di hulu, namun mendorong hadirnya oligarki di hilir. Berputar-putar pada sekelompok orang yang rakus dan tandus nurani.