Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Redaksi : Jangan Selalu Salahkan Masyarakat

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Pemerintahan dalam konsep demokrasi adalah terdiri atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam perkembangannya, konsep ini beradaptasi dan mencari keseimbangan sesuai dengan tempat atau waktu. Meskipun secara gagasan demokrasi serupa, namun dalam implementasi bisa sangat berbeda.

Awalnya demokrasi muncul dari Athena (Yunani), akhirnya ternyata tumbuh subur dan berkembang di Amerika. Di benua Asia banyak negara menerapkan sistem ini, termasuk Indonesia. Asimilasi gagasan dan public sphere terjadi antara demokrasi dengan ‘Indonesia’, hingga kemudian lahir sebuah konsensus tentang Demokrasi Pancasila.

baca juga : Catatan Redaksi: Stop Buat Kebijakan Anomali Dimasa Pandemi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan sila Pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh. Ditegaskan dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), demokrasi Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 memiliki keunggulan tertentu. Diantaranya mengutamakan pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat dalam semangat kekeluargaan. Mengutamakan keselarasan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kepentingan pribadi dan sosial. Lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Jika dicermati setiap point diatas, maka apa yang termaktub dalam demokrasi Pancasila selaras dengan ungkapan Cicero, “Salus populi suprema lex esto” keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Bagaimana dengan realitasnya? Demokrasi Pancasila nampak jauh panggang dari api.

baca juga : Catatan Redaksi : Memutus Mata Rantai Bencana

Belum lama ini ada buku baru yang mencoba menggugat fungsi Pemerintah dalam prosesnya seringkali menyalahkan publik. “It’s the Government, Stupid: How Governments Blame Citizens for Their Own Policies.” Meski dalam resensinya menyoroti lima anomali bidang kebijakan; kejahatan senjata, obesitas, tunawisma, perjudian, dan narkoba. Tapi sesungguhnya sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia dalam konteks tata kelola Pemerintahan.

Pemerintah telah mengembangkan kebiasaan yang nyaman untuk menyalahkan masalah sosial pada warganya, menempatkan terlalu banyak penekanan pada tanggung jawab pribadi dan mengejar kebijakan untuk ‘mendorong’ warganya ke perilaku yang lebih baik. Sibuk mengkoreksi publik, namun lalai menunaikan tugas utamanya.

Tengok saja, saat kondisi positif Corona capai 300.000, Satgas Covid-19 salahkan Masyarakat. Pun pada ketika kasus menyentuh angka 1 Juta suspect. Otoritas sibuk menyalahkan masyarakat akibat tidak taat protokol kesehatan (prokes). Narasi ini diulang-ulang dan ditekankan disejumlah kesempatan.

baca juga : Catatan Redaksi: Pak Presiden Kita Tidak Sedang Baik-Baik Saja

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat mengatakan “kapok menggunakan data Kemenkes” karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Solusinya akan menggunakan data Komisi Pemilihan Umum untuk memperbaiki data, karena lembaga tersebut menjalankan pemilu baru-baru ini sehingga memiki data terkini. Lucu kan?

Agar masyarakat mematuhi anjuran prokes maka pemerintah harus memberi teladan yang baik. Semua kegiatan pemerintah apapun bentuknya sudah sepantasnya tidak melanggar prokes yang dicanangkan sendiri.

baca juga : Catatan Redaksi : Tahun Pandemi, ‘Resesi’ Demokrasi dan Tantangan Ekonomi

Persoalan lain, terbaru Peraturan Presiden (Perpres) tentang pencegahan dan penanggulangan ekstremisme disebut banyak pihak maupun koalisi masyarakat sipil rawan disalahgunakan oleh kelompok tertentu lantaran tidak jelasnya batasan ekstremisme di Indonesia. Pasalnya dalam Perpres tersebut, masyarakat dipersilakan untuk melapor ke polisi jika mencurigai adanya individu atau kelompok yang dicurigai sebagai ekstremis. Lalu dimana nilai-nilai musyawarah mufakat hidup ?

Selama ini pemegang otoritas menjalankan kebijakan justru sibuk dan senang membangun kompetisi berbasis wacana. Dengan gelontoran miliaran rupiah memasang garda terdepan para influencer social media yang siap menerkam, menghantam bahkan hingga mempidanakan. “rights or wrong, it’s my corps”. Bahkan mereka dianggap sebagai warga ‘kebal hukum’, meski semburan hate speech meluncur deras dari cuitan dan status mereka. Aneh kan?