
Rasanya kita sulit menebak arah dan kebijakan Pemerintah dalam menghadapi Covid 19 dan bencana alam yang sedang terjadi. Dibidang kesehatan, alih-alih menekan laju pandemi dan memproteksi tenaga kesehatan yang ada justru sebaliknya. Strategi vaksinasi, rotasi kerja dan tunjangan untuk tenaga kesehatan telat. Ada yang sudah dapat, namun yang belum dapat lebih banyak. Janji tinggal janji.
Pada level publik, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menuju pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali hampir tidak ada bedanya. Tempat publik masih ramai dikunjungi oleh orang banyak, berhamburan ke semua sisi. Dari kota ke desa, pun sebaliknya. Dari ramai, menuju kerumunan. Dalam situasi tersebut ironisnya ketersediaan kamar ICU dan perawatan di Rumah Sakit (RS) menuju titik nadir terendah. Sangat mungkin Dead Lock!
Viral seorang pasien dari depok meninggal dunia di taksi online akibat hampir 10 rumah sakit yang didatanginya penuh (bukan menolak). Inalillahi wa innailahi rojiun. Perih kita mendengar cerita pilu seperti itu, badan kita rasanya lunglai dan dada sesak tersedak. Bisa jadi itu terjadi pada siapapun, baik yang punya kuasa atau bagi mereka yang papa dan dhuafa.
Dalam persoalan penanganan bencana kondisi serupa terjadi, setali tiga uang. Tidak jauh beda dan sulit menemukan titik terang karena sejak awal terkesan semua “salah cuaca” dan “suratan alam”, bukan pada kesalahan tata kelola. Jadi sangat wajar hingga pada akhirnya kita menemukan jawaban apa adanya : Bahwa air yang merendam satu provinsi, karena hujan lebat. longsor yang terjadi, karena hujan lebat. Dari awal tidak bicara penyebab utama dan akar masalah. Rumit dan ‘Ruwet’.
Saat dihadang bencana yang bertubi-tubi, tubir kesadaran pemangku kebijakan ternyata semakin jauh dari realitas. Buktinya regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan jauh dari apa yang sedang mengharu biru. Karena tiba-tiba muncul peraturan presiden (perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE). Pemerintah membuat tafsir sendiri mengenai ekstrimisme yang tidak jelas bentuk dan ukurannya. Sehingga dalam tataran teknis menjadi multitafsir. Bukti beda diagnosis dengan obat yang dibutuhkan.
Sejalan dengan itu gagasan Pam Swakarsa dihidupkan kembali dalam ruang publik. Kembali kesadaran kita terhenyak, sebenaranya apa yang sedang benar-benar kita hadapi. Pandemi atau cara kita berpikir? entahlah anomali perumusan kebijakan macam apa yang sedang terjadi.
Disaat kita butuh bersama dan berkolaborasi sebagai sebuah bangsa, meski dalam prosesnya kerap berbeda pandangan. Tentu tidak harus diambil sebuah kesimpulan sebagai bentuk agitasi, bahkan anehnya respon balik yang dilakukan dengan memaksakan cara pandang hingga ke bentuk dan definisi. “Kalau kata pemerintah itu hoax, ya hoax!”. Kita benar-benar khawatir Pemerintah kehilangan fokus dan tidak benar-benar paham tentang skala prioritas apa yang harus dilakukan.
Ditengah gencarnya vaksin, maka sudah sepantasnya pemerintah harus terus meningkatkan strategi testing, tracing, dan treatment (3T) serta menggencarkan pemberian edukasi kepada masyarakat agar selalu menaati protokol kesehatan. itu yang utama, bukan membiarkan masyarakat saling lapor karena cara pandang yang berbeda. Ampun gusti.