Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Redaksi: Pak Presiden Kita Tidak Sedang Baik-Baik Saja

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

image : Media Indonesia

Saat membagikan bantuan modal kerja (BMK) kepada sejumlah pedagang di Istana Bogor, Jumat (8/1). Presiden Jokowi masih bersyukur karena kondisi di Indonesia tidak seburuk beberapa negara lain yang harus menerapkan lockdown di tengah pandemi.

Jokowi bersyukur warga Indonesia masih bisa beraktivitas meski terbatas dan harus menerapkan protokol kesehatan ketat. Selain itu, pandemi juga berpengaruh kepada kondisi ekonomi masyarakat.

Sambutan yang melapangkan dada, namun jauh dari indikator realitas. Pak Presiden kita tidak sedang baik-baik saja. Sudah 10 bulan berlalu pandemi, namun kurva enggan turun. Kasus harian covid 19 di Indonesia tak kunjung menurun sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus perdana pada 2 Maret 2020. Kasus harian berada di angka 5.000 sampai 6000-an. Bahkan dalam hari-hari terakhir mencapai puncak, 10 ribu per hari. jumlah total kasus Covid-19 di Indonesia kini mencapai 808.340 orang. Dengan angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia tercatat sebesar 23.753 orang.

Diantara yang meninggal tersebut, kepiluan makin menukik saat para tenaga kesehatan berguguran. Data terbaru Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut Indonesia saat ini menduduki peringkat pertama kematian tenaga medis di Asia, dan lima besar di seluruh di dunia. Data Tim Mitigasi PB IDI mengungkapkan 504 tenaga medis di Indonesia meninggal dunia akibat terpapar covid 19, dengan rincian 237 dokter, 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, dan 10 tenaga lab medik.

Dalam kondisi pandemi, korupsi bencana masih terjadi. Dua Menteri tidak tanggung. Satu Menteri malah terkait langsung Covid 19. Bener-bener tragis.

Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menyita duit Rp 14,5 miliar dari penangkapan pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial, puncakanya berujung di Menteri Sosial yang diduga telah menerima suap senilai Rp 17 miliar.

Duit ini dipungut dari pemotongan dana bantuan sosial sebesar Rp 10 ribu dari paket bahan pokok seharga Rp 300 ribu. Selama delapan bulan sudah 23,708 juta paket atau total senilai Rp 6,464 triliun yang disalurkan.

Pandemi memang merusak banyak hal. Bukan hanya kita, tapi juga negara lain. Tapi krisis dalam lintasan sejarah menjadi salah satu cara untuk menunjukan watak kepemimpinan dan soliditas sebuah bangsa. Kita melihat banyak bangsa berhasil melewati fase awal pandemi karena menjadikannya sebagai momentum “turning point for better”, namun disisi lain dalam saat bersamaan kita justru menjadi “turning point more worse”. Sebagaimana definisi dari webster Crisis is the turning point for better or worse in an acute disease or fever.

Hantaman tidak selesai. Awal tahun sejumlah kebutuhan dan komoditas merangkak naik, kedelai jadi bukti betapa tata niaga impor masih sangat dominan dan produksi nasional tidak kunjung tercapai. Cabai, daging sapi, dan lainnya antri menyusul. Jerat impor dan “invisible hand” terjadi dibanyak sektor, tidak hanya pangan. Menjamur dan mengakar, saling berkait satu sama lain mengunci kuat.

Kala pandemi seperti ini kebijakan proteksionisme dilakukan oleh banyak negara, tidak mudah mendatangkan barang. Jika saja sejak awal konsentrasi pada penguatan produksi lokal tentu tidak akan bergantung dan terjebak pada pasokan pihak lain. Kita akan lebih perhatian pada persoalan kesehatan, tanpa harus membenturkan dengan ekonomi. Kesehatan manusia Indonesia.

Di sektor non pangan iuran BPJS kelas III naik, argumentasi covid dan pelemahan ekonomi tidak berhasil membendung hasrat pengambil kebijakan. Pun Bea Materai naik dengan tarif tunggal di awal tahun, kemudian sudah ancang-ancang di garis start kenaikan tarif tol dan lainnya.

 

Kala semua indikator menunjukan alarm, anehnya ada yang masih merasa baik-baik saja. Sibuk membandingkan dengan negara lainnya. Dengan mengatakan bahwa kenaikan hanya sedikit, demokrasi dan cara kita benegara aman. Entah darimana cara berpikir seperti ini dimulai, kala orang yang meninggal sudah semakin dekat dan menjadi informasi yang tak henti di aplikasi berbagi pesan. Tidak kah kita sadar bahwa kita tidak sedang baik-baik saja.