Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pertumbuhan Negatif pada Kuartal II 2020, Ecky: Indonesia di Ambang Resesi Ekonomi

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Jakarta (06/08) — BPS merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencatatkan angka negatif 5,2 persen (yoy) atau negatif 4,9 persen (qoq).

Menurut anggota DPR RI Komisi XI Ecky Awal Mucharam, rilis tersebut mengonfirmasi Indonesia sudah di ambang pintu resesi ekonomi.

“Jika pada triwulan III 2020 pertumbuhan masih negatif, maka akan resmi masuk resesi dengan digenapinya rezim pertumbuhan negatif selama dua periode kuartal berturut-turut,” ungkapnya.

Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester 1-2020 dibandingkan dengan Semester I-2019 terkontraksi 1,26 persen.

Ecky menyatakan Pemerintah semestinya lebih mawas diri dengan realita pertumbuhan yang jauh lebih dalam terkontraksi dibanding proyeksi yang dikeluarkan Pemerintah sendiri dan Bank Indonesia yaitu pada kisaran antara 4,3 persen dan 4,8 persen.

Dalam rilis BPS disebutkan bahwa PDB atas dasar harga konstan pada triwulan II-2020 sebesar Rp2.589,6 triliun, turun senilai Rp145,7 triliun dari PDB periode yang sama tahun sebelumnya.

Berdasarkan lapangan usaha, terdapat lima sektor yang mengalami pertumbuhan negatif mencapai dua digit, yaitu jasa keuangan -10,3 persen, jasa perusahaan -14,11 persen, jasa lainnya -15,12 persen, akomodasi & makan minum -22,31 persen, serta transportasi dan perdagangan -29,22 persen.

“Sektor keuangan termasuk perbankan merupakan urat nadi perekonomian bagi suatu negara, dengan melihat fakta bahwa pertumbuhan di sektor ini terkontraksi sangat dalam sampai dengan -10,3 persen, menandakan adanya kegagalan pemerintah dalam merancang desain pemulihan ekonomi atau ketidakefektifan dari langkah yang telah dijalankan” ujar Ecky.

Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan pengeluaran terkoreksi 4,19 persen (qtq), dimana dari enam jenis pengeluaran secara kuartalan hanya konsumsi Pemerintah yang berada di angka positif. Tercatat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat sebesar -6,51 persen (qtq), konsumsi LNPRT -0,78 persen, konsumsi Pemerintah 22,32 persen, PMTB -9,71 persen, ekspor -12,81 persen, serta impor -14,16 persen.

Ecky menuturkan resesi ekonomi dilihat dari PDB pengeluaran, maka ekspor dan impor menjadi komponen yang paling signifikan terpengaruh.

“Kontraksi impor yang lebih dalam dibandingkan dengan ekspor membawa dampak adanya surplus neraca perdagangan”, urainya.

Menurutnya ini merupakan hiburan sementara, karena mimpi buruk sebenarnya adalah penurunan impor, pada kasus bahan baku, membawa dampak terhambatnya pergerakan industri yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perdagangan.

“Sedangkan impor bahan modal akan mempengaruhi komponen investasi yang menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi” kata Ecky.

Ecky mengkritisi kinerja Pemerintah yang justru menurun di saat negara membutuhkan stimulus fiskal.

“Pada kuartal II-2020, konsumsi Pemerintah justru mengalami kontraksi sebesar 6,9%, hal ini justru merugikan di tengah perlambatan ekonomi seperti saat ini”.

Ecky menambahkan realisasi belanja Pemerintah pusat hingga Juni 2020 hanya mencapai 33,8%, justru turun apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 38,6%.

Menurut Ecky, saat siklus ekonomi sedang menurun, ekspansi fiskal mutlak diperlukan.

“Sudah semenjak bulan April Pemerintah menggemborkan berbagai rencana stimulus fiskal, tetapi ternyata realisasinya jauh dari harapan” ujarnya.

Ecky mendesak Pemerintah untuk lebih komitmen dalam membelanjakan anggaran, terutama setelah Pemerintah mencabut batasan defisit anggaran.

“Pemerintah mencabut Batasan defisit anggaran dengan alasan membutuhkan fiscal space untuk stimulus, akan tetapi apabila rencana stimulus itu tidak dibelanjakan dikhawatirkan hanya akan menumpuk menjadi SiLPA di akhir tahun”.

Menurut Ecky SILPA diakhir merupakan kerugian berganda untuk Indonesia, karena kehilangan potensi dorongan ekonomi dari konsumsi Pemerintah dan beban bunga akibat sudah menarik utang publik.

“Data telah berbicara bahwa secara year to year seluruh komponen pengeluaran mengalami koreksi termasuk konsumsi rumah tangga, meskipun distribusi bantuan sosial telah dijalankan, namun demikian pertumbuhan pada kelompok konsumsi rumah tangga sebesar 5,51 persen tidak dapat dihindari. Hal ini mengindikasikan bahwa program bantuan sosial yang dijalankan pemerintah tidak mampu mendongkrak daya beli masyarakat sehingga realisasi pertumbuhan lebih rendah dari yang diproyeksikan” kata Ecky.

Menurutnya perlu ada evaluasi berkala terhadap seluruh program pemulihan ekonomi nasional, sehingga biaya yang dikeluarkan dengan ongkos yang mahal tidak sia-sia. Sedianya program-program tersebut dapat menyelamatkan atau setidaknya membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu terjun bebas seperti yang dilaporkan sekarang ini.